Thursday, January 29, 2015

BIOGRAFI KH ACHMADSHIDDIQ


A. Kehidupan KH Achmad Shiddiq
KH. Achmad Shiddiq yang nama kecilnya Achmad Muhammad Hasan, lahir di Jember pada hari Ahad Legi 10 Rajab 1344 (tanggal 24 Januari 1926). Beliau adalah putra bungsu Kyai Shiddiq dari lbu Nyai H. Zaqiah (Nyai Maryam) binti KH. Yusuf.
Achmad ditinggal abahnya dalam usia 8 tahun. Dan sebelumnya pada usia 4 tahun, Achmad sudah ditinggal ibu kandungnya yang wafat ditengah perjalanan di laut, ketika pulang dari menunaikan ibadah haji. Jadi, sejak usia anak-anak, Kyai Achmad sudah yatim piatu. Karena itu, Kyai Mahfudz Shiddiq kebagian tugas mengasuh Achmad, sedangkan Kyai Halim Shiddiq mengasuh Abdullah yang masih berumur 10 tahun. Ada yang menduga, bahwa bila Achmad terkesan banyak mewarisi sifat dan gaya berfikir kakaknya (Kyai Mahfudz Shiddiq).
Kyai Achmad memiliki watak sabar, tenang dan sangat cerdas. Wawasan berfilkirmya amat luas baik dalam ilmu agama maupun pengetahuan umum.
Kyai Achmad belajar mengajinya mula-mula kepada Abahnya sendiri, Kyai Shiddiq. Kyai Shiddiq sebagaimana uraian-uraian sebelumnya, dalam mendidik terkenal sangat ketat (strength) terutama dalam hal sholat. Beliau wajibkan semua putra-putranya sholat berjama’ah 5 waktu. Selain mengaji pada abahnya, Kyai Achmad juga banyak menimba ilmu dari Kyai Machfudz, banyak kitab kuning yang diajarkan oleh kakaknya,
Sebagaimana lazimnya putra kyai, lebih suka bila anaknya dikirim untuk ngaji pada kyai-kyai lain yang masyhur kemampuannya. Kyai Mahfudz pun mengirim Kyai Achmad menimba ilmu di Tebuireng. Semasa di Tebuireng, Kyai Hasyim melihat potensi kecerdasan pada Achmad, sehingga, kamarnya pun dikhususkan oleh Kyai Hasyim. Achmad dan beberapa putra-putra kyai dikumpulkan dalam satu. kamar. Pertimbangan tersebut bisa dimaklumi, karena para putra kyai (dipanggil Gus atau lora atau Non) adalah putra mahkota yang akan meneruskan pengabdian ayahnya di pesantren, sehingga pengawasan, pengajaran dan pembinaannyapun cenderung dilakukan secara, khusus/lain dari santri urnumnya.
Pribadinya yang tenang itu. menjadikan Kyai Achmad disegani oleh teman-temannya. Gaya bicaranya yang khas dan memikat sehingga dalam setiap khitobah, banyak santri yang mengaguminya. Selain itu, Kyai Achmad juga seorang kutu buku/ kutu kitab (senang baca). Di pondok Tebuireng itu pula, Kyai Achmad berkawan dengan Kyai Muchith Muzadi. Yang kemudian hari menjadi mitra diskusinva dalam merumuskan konsep-konsep strategis, khususnya menyangkut ke-NU-an, seperti buku Khittah Nandliyah, Fikroh Nandliyah, dan sebagainya.
Kecerdasan dan kepiawaiannya berpidato, menjadikan Kyai Achmad sangat dekat hubungannya dengan Kyai Wahid Hasyim.
Kyai Wahid telah membinbing Kyai Achmad dalam Madrasah Nidzomiyah. Perhatian Gus Wahid pada. Achmad sangat besar. Gus Wahid juga mengajar ketrampilan mengetik dan membimbing pembuatan konsep-konsep.
Bahkan ketika Kyai Wahid Hasyim memegang jabatan ketua. MIAI, ketua NU dan Menteri Agama, Kyai Achmad juga yang dipercaya sebagai sekretaris pribadinya. Bagi Kyai Achmad Shiddiq, tidak hanya ilmu KH. Hasyim Asy’ari yang diterima, tetapi juga ilmu dan bimbingan Kyai Wachid Hasyim direnungkannya secara mendalam. Suatu pengalaman yang sangat langka, bagi seorang santri.
B. Ketokohan Kyai Achmad
Ketokohan Kyai Achmad terbaca masyarakat sejak menyelesaikan belajar di pondok di Tebuireng, Kyai Achmad Shiddiq muda mulai aktiv di GPII (Gabungan Pemuda Islam Indonesia) Jember. Karirnya di GPII melejit sampai di kepengurusan tingkat Jawa Timur, dan pada Pemilu 1955, Kyai Achmad terpilih sebagai anggota DPR Daerah sementara di Jember.
Perjuangan Kyai Achmad dalam mempertahankan kemerdekaan ‘45 dimulai dengan jabatannya sebagai Badan Executive Pemerintah Jember, bersama A Latif Pane (PNI), P. Siahaan. (PBI) dan Nazarudin Lathif (Masyumi). Pada saat itu, bupati dijabat oleh “Soedarman, Patihnya R Soenarto dan Noto Hadinegoro sebagai sekretaris Bupati.
Selain itu, Kyai Achmad juga berjuang di pasukan Mujahidin (PPPR) pada tahun 1947. Saat itu Belanda. melakukan Agresi Militer yang pertama. Belanda merasa kesulitan membasmi PPPR, karena anggotanya adalah para Kyai. Agresi tersebut kemudian menimbulkan kecaman internasional terhadap Belanda sehingga muncullah Perundingan Renville. Renville memutuskan sebagai berikut:
1. Mengakui daerah-daerah berdasar perjanjian Linggarjati
2. Ditambah daerah-daerah yang diduduki Belanda lewat Agresi harus diakui Indonesia.
Sebagai konsekwensinya perjanjian Renville, maka pejuang-pejuang di daerah kantong (termasuk Jember) harus hijrah. Para pejuang dari Jember kebanyakan mengungsi ke Tulung Agung. Di sanalah Kyai Achmad mempersiapkan pelarian bagi para pejuang yang mengungsi tersebut.

Pengabdiannya di pemerintahan dimulai sebagai kepala KUA (Kantor Urusan Agama) di Situbondo. Saat itu di departemen Agama dikuasai oleh tokoh-tokoh NU. Menteri Agama adalah KH. Wahid Hasyim (NU). Dan karirnya di pemerintahan melonjak cepat. Dalam waktu singkat, Kyai Achmad Shiddiq menjabat sebagai kepala, kantor Wilayah Departemen Agama di Jawa Timur.
Di NU sendiri, karir Kyai Achmad bermula di Jember. Tak berapa lama, Kyai Achmad sudah aktif di kepengurusan tingkat wilayah Jawa Timur, sehingga di NU saat itu ada 2 bani Shiddiq yaitu: Kyai Achmad dan Kyai Abdullah (kakaknya). Bahkan pada Konferensi NU wilayah berikutnya, pasangan kakak beradik tersebut dikesankan saling bersaaing dan selanjutnya Kyai Achmad Shiddiq muncul sebagai ketua wilayah NU Jawa Timur
Tetapi Kyai Achmad merasa tidak puas dengan kiprahnya selama ini. Panggilan suci untuk mengasuh pesantren (tinggalan Kyai Shiddiq) menuntut kedua Shiddiq tersebut mengadakan komitmen bersama. Keputusannya adalah Kyai Abdullah Shiddiq lebih menekuni pengabdian di NU Jawa Timur, sedangkan Kyai Achmad Shiddiq mengasuh pondok pesantrennya,
Kyai Achmad Shiddiq termasuk ulama yang berpandangan moderat dan unik sebagai tokoh NU dan kyai, ia tidak hanya alim tetapi juga memiliki apresiasi seni yang mengagumkan. Beliau tidak hanya menyukai suara Ummi Kultsum, bahkan juga suka suara musik Rock seperti dilantunkan Michael Jackson. “Manusia itu memiliki rasa keindahan, dan seni sebagai salah-satu jenis kegiatan manusia tidak dapat dilepaskan dari pengaturan dan penilaian agama (Islam). Oleh karena itu, apresiasi seni hendaknya ditingkatkan mutunya. “Apresiasi seni itu harus diutamakan mutu dari seni yang hanya mengandung keindahan menuju seni yang mengandung kesempurnaan, lalu menuju seni yang mengandung keagungan.Selanjutn ya Kyai Achmad memberikan penjelasan sebagai berikut, Seni itu sebaiknya :
1. Ada seni yang diutamakan seperti sastra dan kaligrafi.
2. Ada seni yang dianjurkan seperti irama lagu dan seni suara.
3. Ada seni yang dibatasi seperti seni tari.
4. Ada seni yang dihindari seperti pemahatan patung dan seni yang merangsang nafsu
Dalam memberikan nama untuk anak-anak-nya, Kyai Achmad senantiasa mengkaitkan calon nama yang bernuansa seni dengan pengabdian atau peristiwa-penstiwa penting. Seperti kelahiran putranya yang lahir bersamaan dengan karimya sebagai anggota DPR Gotong-Royong, yaitu Mohammad Balya Firjaun Barlaman, demikian juga Ken Ismi Asiati Afrik Rozana, lahir bertepatan dengan konferensi Asia Afrika.
Kyai Achmad menikah dengan Nyai H. Sholihah binti Kyai Mujib pada tanggal 23 Juni 1947, dan dikaruniai 5 orang anak, yaitu:
1. KH. Mohammad Farid Wajdi (Jember)
2. Drs. H. Mohammad Rafiq Azmi (Jember)
3. Hj. Fatati Nuriana (istri Mohammad Jufri Pegawai PEMDA Jember).
4. Mohammad Anis Fuaidi (wafat kecil), clan
5. KH. Farich Fauzi (pengasuh pondok pesantren Al-Ishlah Kediri).
Nyai Sholihah tidak berumur panjang, Allah memanggilnya ketika putra-putrinya masih kecil. Sehingga keempat anaknya itu di asuh oleh Nyai Hj. Nihayah (adik kandung ketiga Nyai Sholihah). Melihat eratnya hubungan anak-anak dengan bibinya, maka Nyai Zulaikho (kakaknya) kemudian mendesak Kyai Achmad agar melamar Nihayah. Dan Kyai Mujib pun menerima lamaran tersebut. Pernikahan Kyai Achmad Shiddiq dengan Nyai Hj. Nihayah binti KH. Mujib (Tulung Agung) memnpunyai 8 orang putra, yaitu:
1. Asni Furaidah (isteri Zainal Arifin, SE.)
2. Drs. H. Moh. Robith Hasymi (Jember).
3. Ir. H. Mohammad Syakib Sidqi (Dosen di Sumatra Barat)
4. H. Mohammad Hisyarn Rifqi (suami Tahta Alfina Pagelaran, Kediri).
5. Ken Ismi Asiati Afrik Rozana, BA (istri Drs. Nurfaqih, guru SMA Jember).
6. Dra. Nida, Dusturia (istri Tijani Robert Syaifun Nuwas bin Kyai Hamim Jazuli).
7. H. Mohammad Balya Firjaun Barlaman (pengasuh PP. Al Falah Ploso Kediri).
8. Mohammad Muslim Mahdi (wafat kecil)
Aktivitas pengajian Kyai Achmad mendapatkan sambutan hangat di masyarakat. Pesan-pesan agama disampaikannya dengan bahasa dan logika yang sederhana sehingga mudah dicerna. semua kalangan. Pengajian-pengajian nya dikemas secara khusus, seperti yang peruntukkan untuk masyarakat umum (kalangan awam) pada setiap malam senin sudah dirintisnya sejak tahun 1970-an dan tetap berlangsung hingga sekarang, Pengajian setiap malam Selasa, yang diperuntukkan bagi kalangan intelektual, sarjana, dosen dan tokoh-tokoh masyarakat membahas secara, kontemporer dan apresiatif kitab Ihya Ulumiddin karangan Imam Ghozali.
Pengajian-pengajian Kyai Achmad banyak bernuansa Tasawwuf. Ada 3 unsur utarna dari tasawwuf yang dapat menuntun seseorang untuk bertasawwuf dari tingkat rendah menuju peningkatan diri secara bertahap, yaitu:
1. Al Istiqomah: yang berarti; tekun, telaten, terus-menerus tidak bosan-bosan mengamalkan apa saja yang dapat diamalkan Mungkin baca Yasin tiap malam Jum’at, mungkin baca Istighfar sekian kali dalam setiap malam, dan sebagainya.
2. Az Zuhd: yang berarti terlepas dari ketergantungan hati /batin dengan harta benda kekuasaan, kesenangan, dan sebagainya, yang ada, di tangannya sendiri, apalagi yang ada di tangan orang lain. Tidak tergantung berbeda dengan tidak memiliki, berbeda, dengan tidak punya. Seorang “Zahid” bisa saja kaya, tetapi hatinya tidak tergantung pada kekayaannya. Barang siapa yang tidak berputus asa karena sesuatu yang terlepas dari tangannya dan tidak bergembira, (melewati batas) dengan sesuatu yang diterimanya dari Allah maka dia sudah mendapatkan zuhud pada, kedua belah ujungnya.
3. Al Faqir: artinya, selalu menyadari kebutuhan diri kepada Allah. Kesadaran yang mendalam dan terus-menerus, tentang “dirinya membutuhkan Allah” tidak selalu ada pada setiap orang. Pada suatu saat kesadarannya, akan tinggi tetapi saat lain kesadarannya menurun.
C. Dzikrul Ghofilin
Pengajian malam Senin tersebut itu dinamakan “Majlis Dzikrul Ghofilin” yang artinya, majlis dzikirnya orang-orang lupa. Maksudnya orang-orang yang lupa adalah sifat relatif pada manusia yang selalu lupa. (agar selalu ingat Allah) sehingga perlu selalu diingatkan melalui Dzikir tersebut. Pada acara-acara tersebut, selain mengamalkan sholat tasbih, dzikir, Kyai Achmad biasanya mendahului menyampaikan ceramah agamanya.
Majlis Dzikrul Ghafilin yang dirintis pada awal tahun 1970-an tersebut 20 tahun berikutnya telah dilkuti oleh sekitar 20.000 orang Jamaah yang tersebar diseluruh Jawa, dan selanjutnya Jamaah pada setiap daerah mengembangkannya lebih lanjut dikawasan masing-masing. Secara historis, pada tahun 1973 Kyai Achmad mendapat ijazah dari Kyai Hamid untuk membaca Fatihah 100 kali setiap hari. Selanjutnya. Kyai Achmad mengadakan riyadlah di PPI. Ashtra beberapa tahun, baru setelah itu bacaan fatihah 100 kali dipadukan dengan bacaan lain untuk diwiridkan bersama-sama. Kemudian cara mernbacanya bisa dibagi dan dicicil dengan ketentuan: Subuh 30 kali, Dhuhur 25 kali, Ashar 20 kali, Maghrib 15 kali dan Isya’ 10 kali. Dzikrul Ghafilin paling afdhal jika dibaca setelah sholat dan dibaca dengan hati yang talus ikhlas. Ada ceritera menarik antara Kyai Achmad dan Kyai Hamid: “Setiap memasuki tapal batas Pasuruan, Kyai Achmad selalu mengucapkan salam kepada Kyai Harnid. Ketika bertemu, Kyai Hamid menyatakan bahwa beliau selalu menjawab salam Kyai Achmad”.
Dzikrul Ghafilin yang namanya diambil dari Al-Qur’an surat Al-A’raf 172 dan 265 menurut Kyai Achmad adalah wirid biasa, bukan wirid. thariqat. Jika tariiqat dengan bai’at, kalau tidak menegakkan pasti dosa, sedang dzikrul ghafilin adalah dengan ijazah. Pengamalannya tanpa menimbulkan efek camping dan isi bacaannya terdiri dari Al-Fatihah, Asmaul Husna, Ayat Kursi, Istighfar, Sholawat dan tahlil
Ada 3 orang Kyai yang ikut meramu bacaan-bacaan dalam dzikrul ghafilin, yaitu: KH. Abdul Hamid bin Abdullah (Pasuruan), KH. Achmad Shiddiq (Jember) dan KH. Hamim Jazuli (Gus Mik, Kediri). Bahkan menurut Gus Mik, ada tiga tokoh lagi yang ikut andil dalam wirid dzikrul ghafilin, yaitu Mbah Kyai Dalhar (Gunung Pring Muntilan Magelang), Mbah Kyai Mundzir (Banjar Kidul Kediri), dan Mbah Kyai Hamid (Banjar Agung Magellang).
Tawashul bil Fatihah, dalam kitab dzikrul ghafilin ditujukan kepada:
1 . Rasulullah Muhammad Saw.
2. Malaikat Jibril, Mikail, Isrofil, Izroil, Penjaga Arsy, dan Malaikat Muqorrobin.
3. Nabi-nabi dan Rasul-rasul
4. Ulul Azmi (Nabi Nuh As, Nabi lbrohim As, Nabi Musa As, Nabi Isa dan Nabi Muhammad saw)
5. Istri-istri Nabi (Siti Aisyah, Siti Hafsoh. Siti Sa’udah, Siti Shofiayh, Siti Maimunah, Siti Roulah, Siti Hindun, Siti Zainab, dan Siti Zuwairiyah)
6. Putra-putri Nabi (Qosyim, Abdullah, Ibrohim, Fatimah, Zainab, Ruqoyyah dan Ummi Kultsum).
7. Keturunan (Dzurriyah) Nabi saw.
8. KeluargaNabi saw.
9. Shahabat Nabi saw, khususnya Ahli Badar (yang wafat saat perang Badar, dari Muhajirin dan Anchor)
10. Pengikut Nabi saw yaitu para Syuhada’, ‘ulama, ‘auliya’, sholihin, mushonniffin, muallifin, Mbah-mbah, orang tua (bapak dan ibu) dan orang-orang yang benar.
11. Nabi Khodliri Abi Abbas Balya bin Malkan As.
12. Sultonil’ Auhya’ Awwal yaitu:
a. Abi Muhammad Sayyidina Hasan bin Ali bin Abi Tholib
b. Sayyidina Husein ra.
c. Sayyidina Ali bin Abi Tholib ra.
d. Sayyidatina. Fatimah Az-Zahro ra,
13. Sayyid Syech Muhyiddin Abu Muhammad (Sultonil’ Auliya Syech Abdul Qodir Al-Jilani ra) bin Abi Sholih Musa jangkadusat
14. Sayyid Syech Ali Muhammad Bahauddin Naqsabandi ra.
15. Sayyid Syech Abu Hamid Muhammad Al-Ghozali ra.
16. Sayyid Syech Achmad Ghozali (adik Imam Ghozali)
17. Sayyid Syech Abi Bakar As-Syibbli ra.
18. Sayyid Syech Qutub Ghowtsi Habib Abdillah bin Alwi Haddad ra.
19. Sayyid Syech Abi Yazid Toymuri bin lsa Bustomi ra.
20. Sayyid Syech Muhammad Hanafi.
21. Sayyid Syech Yusuf bin Ismail A-Nabhani ra.
22. Sayyid Syech Jalaluddin As-Suyuti ra.
23. Sayyid Syech Abu Zakariya Yahya bin Sarafinnawawi ra.
24. Sayyid Syech Abdul Wahhab As-Syaroni ra.
25. Sayyad Syech Ali Nuruddin Asy-Syowni ra.
26. Sayyid Syech Abi Abbas Achmad bin Ali Al-Buni ra.
27. Sayyid Svech Ibrohim bin Adhama ra.
28. Sayyid Syech Ibrohim. Ad-Dasuqi ra.
29. Sayyid Syech Abu Abbas Syihabuddin Achmad bin Umar Anshori Al-Anshori Al-Mursiy
30. Sayyid Syech Sa’id Abdul Karim Al-Bushiri.
31. Sayyid Syech Abu Hasan Al-Bakri.
32. Sayyid Syech Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Buchori.
33. Sayyid Syech Zainuddin Abdul Aziz Al-Malibari Al-Fanani.
34. Sayyid Syech Tajuddin bin Athoillah Al-Askandari ra.
35. Mazhab Ernpat, Khususnya:
a Sayyid Syech Imam Muhammad bin Idris As-Syafi’i
b. Sayyid Syech Abu Hafsin Umar As-Suhrawardi
c. Sayyid Syech Abi Madyan
d- Sayyid Syech Ibnu Maliki Al-Andalusi
e. Sayyid Syech Abu Abdulloh Muhammad bin Sulaiman Al Jazuli
f Sayyid Syech Muhyiddin bin Al-Arabi
g. Sayyid Syech Imon bin Husayni ra.
36. Al Qutub Al Kabir Sayyid Syech Abdussalam 1bnu Masyisyi
37. Sayyid Syech Abu Hasani. Ali bin Abdillah bin Abdul Jabbar As-Syadzi1i
38. Sayyid Syech Abi Mahfudz Ma’ruf Al-Karkhiy
39. Sayyid Syech Abi Hasani Sari As-Saqofi
40. Sayyid Syech Abu Qosim Al-Imam Junaidi Al-Baghdadi
41. Sayyid Syech Abu `Abbas Ahmad Badawi
42. Sayyid Syech Abu Husain Rifa’i
43. Sayyid Syech Abu Abdillah Nu’ man
44. Sayyid Syech Imam Hasani bin Abu Hasani Abi Sa’id Bashri
45. Sayyidati Robi’ah Al-Adawiyah ra.
46. Sayyidati Ubaidah binti Abi Kilab ra
47. Sayyid Syech Abu Sulaiman Ad-Daroni ra
48. Sayyid Syech Abu Abdillah Al-Harits bin Asadi Al-Muhasibi ra.
49. Sayyid Syech Abi Faydl dzinnun Al-Misry ra,
50. Sayyid Syech Abi Zakariyya. Yahya bin Mu’adz Ar-Rozy ra
51. Sayyid Syech Abi Sholih Hamdun an-Naisabur.
52. Sayyid Syech Husaini bin Mansur Al-Hallaj ra.
53. Sayyid Syech Jalaluddin Ar-Rumy ra.
54. Sayyid Syech Abi Hafsin Syarafiddin Umar bin Farid Al- Hamawiy Al-Mirsi ra.
55. Ikhwan Dzikrul Ghafilin
56. Orang yang hidup dan mati baik itu:
a. Orang-orang shalihin
b. Auliya Rijalillah
c. Orang-orang yang Arif
d. Ulama Amilin
e. Para Auliya Jawa dan Madura khususnya Wali Songo
f. Kaum Sufi Muhaqiqin
Tentang “Tawassul”, Kyai Achmad memberikan penjelasan bahwa do’ a tawashul ada dua macam:
1. Doa yang harus “dikatrol”, yaitu. Yaitu orang yang tidak faham dan tidak maqbul do’ anya akan dikatrol (ditolong) oleh orang faham dan khusyu’ dalam berdo’a Hal ini sama dengan sholat berjama’ah tersebut. Bila salah satu diterima amal sholatnya maka diterima semua yang berjama’ah tersebut. Karena itu sholat berjama’ah lebih baik dari sholat sendiri. Bahkan Imam Hambali menghukumi Fardlu Ain. Ada Hadits Nabi sebagai berikut: “Nabi didatangi seorang sahabat. Sahabat menyampaikan bahwa ia sering lupa do’a yang sudah diajarkan Nabi. Lalu Nabi mengatakan, “Bacalah do’a di bawah ini” maka nilainya sama”.
“Ya Allah aku tidak tabu apa yang di doakan oleh Nabi Tapi aku juga ikut mohon doa itu. Dan apa yang diminta NAbi untuk dijauhkan dari bahaya, aku juga mohon ya Allah”.
4. Doa yang bersifat “dorongan” yaitu: orang yang berdoa tidak maqbul karna jiwanya tidak bersih, sehingga perlu didorong atau di amini oleh orang yang maqbul doanya dan bersih hatinyaAda hadits sebagai berikut “Ada tiga orang sahabat yang sedang berzikir di masjid. Salah satunya adalah Abu Hurairah yang masih muda usia. Lalu masuklah Nabi sambil bersabda: berdoalah kamu dan aku mengamininya. Satu persatu mereka berdoa dan di amini oleh Nabi. Giliran ketiga pada Abu Hurairah berdoa sebagai berikut: “Ya Allah semua yang diminta sahabat yang pertama, aku mohon juga. Begitu pula yang diminta sahabat yang kedua aku mohon juga Sekarang aku mohon untuk diriku sendiri. Ya Allah sejak kecil aku ini pelupa, aku mohon agar dapat hafal semua yang diajarkan Nabi”. Doa Abu Hurairah inipun di amini Nabi, maka sejak itulah la menjadi penghafal/perawi Hadits terbanyak. Ini karena dorongan amin Nabi yang langsung di terima Allah”.
Pengajian Dzikrul Ghafilin ini semakin lengkap dan dilkuti oleh ribuan muslimin/muslimat, setelah digabung dengan sema’an Al-Qur’an Mantab” yang dirintis oleh Gus Mik, dan kini dikoordinasi oleh KH. Farid Wajdi (putra Sulung Kyai Achmad). Pengajian “Dzikrul Ghafillin dan Istima’ul Qur’an” ini tidak hanya dilakukan di Jember, bahkan hampir semua Kabupaten di Jawa Timur dan Jawa Tengah (ternasuk Kraton Yogya dan kantor-kantor pemerintah pun) sudah mengadakan kegiatan ini secara rutin.
Kedekatan KH. Achmad Shiddiq dengan Gus Mik tidak hanya pada penggabungan Dzikrul Ghofilin dengan sema’ an Qur’ an Mantab saja. Bahkan eratnya hubungan itu terikat rapat setelah kedua tokoh itu “besanan”. Putra Kyai Achmad (Gus Hisyam Rifqi) menikah dengan putri Gus Mik (Tahta Alfina Pagelaran) sedang Ning Nida Dusturia (Putri Kyai Achmad) Dinikahkan dengan Gus Robert Syaifun Nuwas (putra Gus Mik), lebih dari itu Gus Firjaun (putera Bungsu Kyai Achmad) menikah dengan Ning Sofratul Lailiyah (Ponaan Gus Mik).
Dengan dzikrul ghafilin Kyai Achmad berikhtiar menciptakan suasana religius guna membentengi masyarakat dalam memasuki kehidupan modern, karena modernisasi menurut Kyai Achma cenderung membawa mudirrunisasi. yakni suatu proses yan mengarah kepada sesuatu yang memudharatkan, sehingga pengembangan suasana religius merupakan kondisi yang harus mendapatkan prioritas.
D. Bintang Kyai Achmad
Pada Munas Ulama NU di Situbondo pada bulan Desember 1983, KH. Achmad Shiddiq menjelaskan makalahnya tentang “Penerimaan Azas Tunggal Pancasila bagi NU”. Beliau menyampaikan pokok-pokok fikiran dan berdialog tanpa kesan apolog: Beliau ungkap argumentasi secara mendasar dan rasional dari segi agama, historis maupun politik. “Pancasila dan Islam adalah hal yang dapat sejalan dan saling menunjang. Keduanya tidak bertentangan dan jangan dipertentangkan” ,kata Kyai Achmad.
Lebih lanjut ditegaskan: “NU menerima Pancasila berdasar pandangan syariah. bukan semata-mata berdasar pandangan politik. Dan NU tetap berpegang pada ajaran aqidah dan syariat Islam. Ibarat makanan, Pancasila itu sudah kita makan selama 38 tahun, kok baru sekarang kita persoalkan halal dan haramnya katanya setengah bergurau penuh diplomatic. Sungguh luar biasa, ratusan kyai yang sejak awal menampik Pancasila sebagai satu-saatunya Azas organisasi, berangsur-angsur berobah sikap dan menyepakatinya. Sejak saat itulah, sejarah mencatat NU menjadi ormas keagamaan yang pertama menerima Pancasila sebagai satu-satunya Azas.
Nama Kyai Achmad melejit bak “Bintang Kejora”, dalam Munas NU itu. Dan tak heran, dalam Muktamar NU ke 27 di Situbondo itu, Kyai Achmad Shiddiq terpilih sebagai Ro’is Aam PBNU, sedang KH. Abdurrahman Wahid sebagai Ketua Umum Tanfidziahnya, bentuk pasangan yang, ideal.
Duet Kyai Achmad dan Gus Dur temyata marnpu mengangkat pamor NU ke permukaan. Beberapa. kali NU bisa selamat ketika menghadapi setiap persoalan besar dan pelik berkat kepemimpinan keduanya. Semisal goncangan, ketika Kyai As’ ad yang kharismatik mengguncang NU dengan sikap mufaroqohnya terhadap kepemimpinan Gus Dur. Dalam Munas NU di cilacap tahun 1987, Kyai As’ ad menginginkan Gus Dur dijadikan agenda Munas, dan diganti. Namur demikian, Kyai Achmad Shiddiq dan Kyai Ali Ma’shum tampil membelanya.
Kyai Achmad dalam posisi sulit dan menentukan itu mampu meyakinkan warga NU untuk tetap kukuh dengan khittah NU 1926. Pada Muktamar ke-28 di Yogyakarta pada tahun 1989 Kyai Achmad menegaskan pendiriannya tentang Khittah. “NU ibarat kereta, api, bukan taksi yang bisa, dibawa, sopirya, ke mana, saja. Rel NU sudah tetap”, ujarnya bertamsil. Dengan tamsil ini pula Muktamar Yogyakarta dapat mempertahankan duet Kyai Achmad dengan Gus Dur.
Dan kepulangan Kyai Achmad dari Muktamar Yogyakarya, Kyai Achmad sakit Diabetes Melitus (kencing manis yang parsh). Kyai Achmad dirawat di RS. Dr. Sutomo, Surabaya.
“Tugasku di NU sudah selesai”, kata Kyai Achmad Shiddiq pada rombongan PBNU yang membesuknya di RSU Dr. Sutomo, Ternyata isyarat itu benar. Tanggal 23 Januari 1991, Kyai Achmad Shiddiq wafat. Rois Aam PBNU yang berwajah sejuk itu menanggalkan beberapa jabatan penting:
1. Anggota DPA (Dewan Pertimbanzan Agung)
2. Anggota BPPN (Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional)
KH Achmad Shiddiq dimakamkan di kompleks makam Auliya, Tambak Mojo, Kediri. Di makam itu juga sudah dimakamkan 2 orang Auliya sebelumnya. “Aku seneng di sini Besok kalau aku mati dikubur sini saja”, wasiat Kyai Achmad pada istri dan anak-anaknya. Walaupun berat hati karena jauhn dari Jember, keluarganyapun merelakannya sebagai penghormatan pada bapak yang sangat di cintainya
Ribuan muslimin dan muslimat melayat ke pemakaman Kyai Achmad Shiddiq. Jenazah terlebih dulu disemayamkan di rumah duka (kompleks Pesantren Ashtra. Talangsari) dan keesok harinya, barulah beriring-iringan mobil yang berjumlah seratus itu mengantarkannya di tempat yang jauh, tetapi menyenangkannya. Sang Bintang Kejora itu jauh dari Jember tetapi sinarnya tetap cemerlana dari pemakaman Tambak nun jauh.
Sekitar 5 tahun setelah wafatnva, tepatnya pada tanggal 9 Nopember 1995, Kyai Achmad masih mendapatkan penghargaan “Bintang Maha Putera NARARYA, dari Pemerintah dan beliau tercatat sebagai Pahlawan Nasional Mantan Tokoh NU .
BIOGRAFI KH. R. ASNAWI KUDUS


Kyai Haji Raden Asnawi itulah nama yang digunakan setelah menunaikan ibadah haji yang ketiga hingga wafat. Adapun nama sebelumnya ialah Raden Ahmad Syamsi, kemudian sesudah beliau menunaikan ibadah haji yang pertama berganti nama Raden Haji Ilyas dan nama inilah yang terkenal di Mekah.
KH.R. Asnawi adalah putra yang pertama dari H. Abdullah Husnin seorang pedagang konveksi yang tergolong besar di Kudus pada waktu itu, sedang ibunya bernama R. Sarbinah. KH. R. Asnawi lahir di kampung Damaran, Kudus pada tahun 1281 H (+1861 M), beliau termasuk keturunan ke-14 dari Sunan Kudus (Raden Ja’far Shodiq) dan keturunan ke-5 dari Kyai Haji Mutamakin seorang wali yang kramat di desa Kajen Margoyoso Pati, yang hidup pada zaman Sultan Agung Mataram.
Sejak kecil beliau diajar oleh orang tuanya sendiri, terutama dalam mengaji Al-Qur’an. Setelah berumur 15 tahun beliau diajak oleh orang tuanya ke Tulungagung Jawa Timur untuk mengaji sambil belajar berdagang. Sesudah mendapat asuhan dan didikan dari orang tuanya, beliau kemudian mengaji di pondok pesantren Tulungagung, lalu berguru dengan Kyai H. Irsyad Naib Mayong Jepara sebelum pergi haji. Selama di Mekah beliau berguru antara lain dengan Kyai H. Saleh Darat Semarang, Kyai H. Mahfudz Termas dan Sayid Umar Shatha.
Menunaikan Ibadah Haji
Sewaktu umur 25 tahun beliau menunaikan ibadah haji yang pertama dan sepulangnya dari ibadah haji ini, beliau mulai mangajar dan melakukan tabligh agama. Diantaranya pada setiap hari Jum’ah Pahing sesudah shalat Jum’ah beliau mengajar ilmu tauhid di Masjid Muria (Masjid Sunan Muria) yang berjarak 18 Km dari kota Kudus, dan ini dilakukan dengan jalan kaki. Beliau berkeliling di masjid-masjid sekitar kota bila melakukan shalat subuh.
Kira-kira umur 30 tahun beliau diajak oleh ayahnya untuk pergi haji yang kedua dengan niat untuk bermukim di tanah suci. Di saat-saat melakukan ibadah haji, ayahnya pulang ke rahmatullah, meskipun demikian, niat bermukim tetap diteruskan selama 20 tahun. Selama itu beliau juga pernah pulang ke Kudus beberapa kali untuk menjenguk ibunya yang masih hidup beserta adik yang bernama H. Dimyati yang menetap di Kudus hingga wafat. Ibunya wafat di Kudus sewaktu beliau telah kembali ke tanah suci untuk meneruskan cita-citanya.

Mukim Di Tanah Suci
Semula beliau tingal di rumah Syekh Hamid Manan Kudus, kemudian setelah kawin dengan ibu Nyai Hajjah Hamdanah (janda Almaghfurlah Kyai Nawawi Banten), beliau pindah tempatdi kampung Syamiah Mekah dengan dikaruniai 9 orang anak, tetapi yang hidup sampai tua hanya 3 orang yaitu: H. Zuhri, H. Azizah istri KH. Shaleh Tayu dan Alawiyah istri R.Maskub Kudus.
Selama bermukim di tanah suci, di samping menunaikan kewajiban sebagai kepala rumah tangga, beliau masih mengambil kesempatan untuk memperdalam ilmu agama dengan para ulama besar, baik dari Indonesia (Jawa) maupun Arab, baik di Masjidil Haram maupun di rumah. Beliau juga pernah mengajar di Masjidil Haram dan di rumahnya, diantara yangikut belajar antara lain: KH. Abdul Wahab Hasbullah Jombang, KH. Bisyri Samsuri Jombang, KH. Dahlan Pekalongan, KH. Shaleh Tayu, KH. Chambali Kudus, KH. Mufid Kudus dan KH. A. Mukhit Sidoarjo. Disamping belajar dan mengajar agama Islam, beliau turut aktif mengurusi kewajibannya sebagai seorang Komisaris SI (Syariat Islam) di Mekah bersama dengan kawannya yang lain.
Pada waktu beliau bermukim ini, pernah mengadakan tukar pikiran dengan salah seorang ulama besar, Mufti Mekah bernama Syekh Ahmad Khatib Minangkabau tentang beberapa masalah keagamaan. Pembahasan ini dilakukan secara tertulis dari awal masalah hingga akhir, meskipun tidak memperoleh kesepakatan pendapat antara keduanya. Karena itu beliau bermaksud ingin memperoleh fatwa dari seorang Mufti di Mesir, maka semua catatan baik dari tulisan beliau dan Syekh Ahmad Khatib tersebut dikirim ke alamat Sayid Husain Bek seorang Mufti di Mesir, akan tetapi Mufti Mesir itu tidak sanggup memberi ifta’-nya. (sayang, catatan-catatan itu ketinggalan di Mekah bersama kitab-kitabnya dan sayang keluarga KH. R. Asnawi lupa masalah apa yang dibahas beliau, meskipun sudah diberitahu).
Melihat tulisan dan jawaban beliau terhadap tulisan Syekh Ahmad Khatib itu, tertariklah hati Sayid Husain Bek untuk berkenalan dengan beliau. Karena belum kenal, maka Mufti Mesir itu meminta bantuan Syekh Hamid Manan untuk diperkenalkan dengan KH. Asnawi Kudus. Akhirnya disepakati waktu perjumpaan yaitu sesudah shalat Jum’ah. Oleh Syeikh Hamid Manan maksud ini diberitahukan kepada beliau dan diatur agar beliau nanti yang melayani mengeluarkan jamuan. Sesudah shalat Jum’ah datanglah Sayyid Husain Bek kerumah Syekh Hamid Manan dan beliau sendiri yang melayani mengeluarkan minuman. Sesudah bercakap-cakap, bertanyalah tamu itu: “Fin, Asnawi?” (Dimana Asnawi?), “Asnawi? Hadza Huwa” (Asnawi ? Inilah dia) sambil menunjuk beliau yang sedang duduk di pojok, sambil mendengarkan percakapan tamu dengan tuan rumah. Setelah ditunjukkan, Mufti segera berdiri dan mendekat beliau, seraya membuka kopiah dan diciumlah kepala beliau sambil berkenalan. Kata Mufti Sayyid Husain Bek kepada Syeikh Hamid Manan: "Sungguh saya telah salah sangka, setelah berkenalan dengan Asnawi. Saya mengira tidaklah demikian, melihat jasmaniahnya yang kecil dan rapuh".
Pada tahun 1916 beliau meninjau tanah airnya yang ada di Kudus, serta mengadakan hubungan dengan kawan-kawannya antara lain Bapak Sema’un, H. Agus Salim, Hos Cokroaminoto dan lain-lain dari tokoh SI. Berangkatlah beliau sendiri, sedang anak istri ditinggal di Mekah. Sesampainya di Kudus beliau bersama dengan kawan-kawannya mendirikan sebuah Madrasah yang di beri nama Madrasah Qudsiyyah pada tahun 1916 M. Dan tidak lama kemudian diadakan pembangunan Masjid Menara Kudus yang dilakukan secara gotong royong. Kalau malam para santri bersama-sama mengambil batu dan pasir dari Kaligelis untuk dikerjakan pada siang harinya.
Di tengah-tengah melaksanakan pembangunan itu, terjadi suatu peristiwa huru-hara Kudus pada tahun 1918, dimana beliau dengan kawan-kawannya yang lain terpaksa harus menghadapi tantangan kaki tangan kaum penjajah yang menghina Islam. Itulah sebabnya niat kembali ke tanah suci menjadi gagal, sedang istri dan anak masih di Mekah.Huru-Hara Kudus
Di tengah-tengah umat Islam mengadakan gotong royong untuk membangun Masjid Menara yang dikerjakan siang dan malam, oleh orang-orang Cina diadakan pawai yang akan melewati depan Masjid Menara. Oleh Ulama dan pemimpin-pemimpin Islam telah mengirim surat kepada pemimpin Cina, agar tidak menjalankan pawainya di muka Masjid Menara, mengingat banyak umat Islam yang melakukan pengambilan batu dan pasir pada malam hari. Permintaan itu ternyata tidak digubris, bahkan dalam rentetan pawai itu ada adegan dua orang Cina yang memakai pakaian haji dengan merangkul seorang wanita yang berpakaian seperti wanita nakal. Orang awam menamakan Cengge.
Pawai Cina yang datang dari muka Masjid Manara menuju ke selatan kemudian berpapasan dengan santri-santri yang sedang bekerja bakti mengambil pasir dan batu dengan kendaraan gerobak dorong (Jawa=songkro). Kedua-duanya tidak ada yang mau mundur. Akhirnya seorang santri yang menarik songkro itu dipukul oleh orang Cina. Dengan adanya pemukulan terhadap orang Islam yang dilakukan oleh orang Cina, ditambah adanya Cengge yang menusuk perasaan umat Islam, maka terjadilah pertikaian antara para peserta pawai orang Cina dengan orang Islam yang sedang bekerja bakti mengambil pasir dan batu.
Sekalipun pertikaian ini dapat dihentikan dan selanjutnya diadakan perdamaian, namun orang-orang Cina belum mau menunjukkan sikap damai, bahkan masih sering melontarkan ejekan terhadap orang Islam yang tengah mengambil pasir dan batu sepanjang jalan yang dilalui dari Kaligelis sampai menuju ke Masjid Manara Kudus. Karena itulah orang-orang Islam terpaksa mengadakan perlawanan terhadap penghinaan orang-orang Cina. Para ulama memandang beralasan untuk menyetujui adanya penyerangan pembelaan, tetapi tidak diadakan pembunuhan terhadap orang-orang Cina, pembakaran rumah maupun perampasan barang-barang milik orang Cina. Tetapi ada pihak ketiga yang mengambil kesempatan untuk mengambil barang-barang orang Cina dan tersentuhnya lampu gas pom sehingga menimbulkan kebakaran beberapa rumah, baik milik orang Cina maupun orang Jawa.
Dengan dalih telah mengadakan pengrusakan dan perampasan oleh pemerintah penjajah, maka para Ulama ditangkap dan dimasukkan dalam penjara. Akhirnya KH. R. Asnawi yang dituduh sebagai salah satu penggerak, dijatuhi hukuman selama 3 tahun. Semula di penjara Kudus, kemudian pindah di penjara Semarang bersama-sama dengan KH. Ahmad Kamal Damaran, KH. Nurhadi dan KH. Mufid Sunggingan dan lain-lain.
Pada saat di penjara, istrinya (Nyai Hj. Hamdanah) beserta 3 orang putra-putrinya datang ke Kudus dari Mekah. Menurut cerita beliau, selama berada di penjara Kudus padasetiap malam Jum’ah, beliau mengadakan berjanjenan (membawa kitab Al-Barjanji) bersama dengan penghuni penjara dan selalu mengadakan shalat jama'ah lima waktu. Di sampingitu, beliau sempat menterjemahkan kitab Al Jurumiyah (ilmu Nahwu) ke dalam bahasa Jawa, sayang karangan ini tidak dicetak dan disiarkan.
Sesudah Keluar Dari Penjara
Sebagai seorang yang memiliki jiwa pejuang, setelah keluar dari penjara beliau langsung terjun di tengah masyarakat untuk menunaikan kewajiban sebagai seorang pemimpin masyarakat, diantaranya dengan berda’wah mengajar agama dan melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar. Diantara ilmu yang diutamakan oleh beliau adalah Tauhid dan Fiqih. Pada tahun 1927 berdiri pondok pesantren yang diasuh oleh beliau di atas tanah wakaf dari KH. Abdullah Faqih (Langgar Dalem) dan mendapat dukungan dari para dermawan dan umat Islam di Kudus. Kegiatan beliau dalam melakukan tabligh tidak terbatas daerah Kabupaten Kudus saja, akan tetapi meluas ke daerah lain untuk menyebarkan aqidah Ahlusunnah Wa al Jamaah antara lain sampai ke Tegal, Pekalongan, Semarang, Gresik, Cepu, dan Blora. Demikian halnya dalam mengadakan pengajian meliputi daerah Demak, Jepara, dan Kudus.
Di pondok pesantrennya sendiri setiap tanggal 14 bulan hijriyah diadakan majelis ta’lim yang disebut Patbelasan, ribuan Muslimin dan Muslimat mendatangi majelis ini. Sayang majelis ini terhenti karena dihapus oleh pemerintah Jepang. Juga setiap tanggal 29 Rabiul Awal beliau menyelenggarakan peringatan maulud Nabi Muhammad Saw. Bersamaan mengadakan majelis khataman Al-Quran baik binnadzar maupun bil-ghaib yang diasuh oleh putranya (HM. Zuhri).
Di samping melayani kebutuhan para santri yang ada di pondok pesantren tentang pengajian kitab, secara khusus beliau juga mengadakan wiridan, antara lain: Khataman TafsirJalalain dalam bulan Ramadlan di pondok pesantren Bendan Kudus. Khataman kitab Bidayatul Hidayah dan Hikam dalam bulan Ramadlan di Tajuk Makam Sunan Kudus. Membaca kitab Hadist Bukhari yang dilakukan setiap jamaah fajar dan setiap sesudah jama’ah shubuh selama bulan Ramadhan bertempat di Masjid Al-Aqsha Kauman Menara Kudus, sampai beliau wafat, kitab ini belum khatam, makanya diteruskan oleh Al-Hafidh KH. M. Arwani Amin sampai khatam.
Sesudah selesai mendirikan pondok pesantren pada tahun 1927 M, pernah datang ke rumah beliau seorang tokoh Belanda yang faham tentang agama Islam bernama Van Der Plas. Kedatangannya di rumah untuk minta agar dilayani dengan bahasa Arab, demikian ujar petugas Kabupaten yang memberitahukan akan datangnya Van Der Plas dan menyampaikan kehendaknya. Adapun maksud Van Der Plas menemui beliau adalah bermaksud minta kesediaan beliau untuk memangku jabatan penghulu di Kudus. Secara tegas penawaran itu ditolaknya, sebab kalau diangkat sebagai penghulu tidak bebas lagi dalam melakukan amar ma’ruf nahi mungkar terhadap para pejabat, lain kalau saya menjadi orang partikelir, dapat melakukan amar ma’ruf nahi mungkar terhadap siapapun tanpa ada rasa segan (ewuh pekewuh).
Perjuangannya
Pada tahun 1924 M beliau ditemui oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah Jombang untuk bermusyawarah untuk membuat benteng pertahanan Aqidah Ahlussunah Wal Jamaah. Akhirnya beliau menyetujui gagasan KH. A. Wahab Hasbullah dan selanjutnya bersama-sama dengan para Ulama yang hadir di Surabaya pada tanggal 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926 M mendirikan jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU).
Pada zaman penjajahan Belanda beliau sering dikenakan hukuman denda karena pidatonya yang mempertahankan kesucian Islam serta menanamkan nasionalisme terhadap umat Islam, baik di Kudus maupun di Jepara. Pada zaman penjajahan Jepang pernah dituduh menyimpan senjata api, sehingga rumah dan pondok beliau dikepung oleh tentara Dai Nippon, akhirnya beliau dibawa ke markas, Kempetai di Pati.
Pada zaman penjajahan Belanda beliau sering dikenakan hukuman denda karena pidatonya yang mempertahankan kesucian Islam serta menanamkan nasionalisme terhadap umat Islam, baik di Kudus maupun di Jepara. Pada zaman penjajahan Jepang pernah dituduh menyimpan senjata api, sehingga rumah dan pondok beliau dikepung oleh tentara Dai Nippon, akhirnya beliau dibawa ke markas, Kempetai di Pati.
Pulang Ke Rahmatullah
Hari Sabtu Kliwon tanggal 25 Jumadil Akhir 1378 H, bertepatan tanggal 26 Desember 1959 M, tepatnya jam 03.00 fajar beliau telah dipanggil pulang ke rahmatullah. KH. R. Asnawi, seorang ulama besar dan salah seorang pendiri Jam’iyyah Nahdlatul Ulama wafat dalam usia 98 tahun. Innalillahi wa inna ilaihi rojiun.
BOIGRAFI KH. BISRI SYAMSURI


Pembicarakan kisah hidup Kiai Bisri berarti membicarakan kecintaan seorang ulama terhadap ilmu fiqih. Karena saking cintanya, Kiai Bisri dikenal sebagai ulama yang tegas memegang prinsip. KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang juga cucunya sendiri, menyebut Kiai Bisri sebagai “Pecinta Fiqih Sepanjang Hayat” yang ter-muat sebagai judul buku yang ia tulis.
Ada kisah menarik yang termuat dalam buku Gus Dur. KH Abdul Wahab Chasbullah sering sekali berbeda pendapat dengan Kiai Bisri. Kiai Wahab, menurut Gus Dur, lahir sebagai anak kaya di Bibis, Kota Surabaya.
Ibunya memiliki ratusan rumah di daerah tersebut yang disewa oleh orang-orang Arab pada paruh kedua abad ke-19 Masehi.
Sebaliknya, Kiai Bisri lahir beberapa tahun kemudian, di tengah-tengah keluarga miskin di kawasan Tayu Wetan, Pati, Jawa Tengah. Dia belajar di pesantren lokal dan kemudian di pesantren KH Cholil Demangan, Bangkalan. Di sanalah dia bertemu dengan Kiai Wahab.
Kiai Bisri muda dapat terus menjadi santri karena ia mencuci pakaian dan menanak nasi untuk kawan barunya itu, Kiai Wahab muda. Segera Kiai Bisri muda menjadi orang kepercayaan Wahab muda karena jujur dan rajin. Jadi, urusannya sudah bukan lagi menyangkut pakaian dan makanan, tetapi sudah berkaitan dengan watak dan tempramen. Walaupun begitu, keahlian ilmu agama Islam kedua orang itu juga saling berbeda.
Perbedaannya terletak pada bidang ilmu agama yang mereka senangi. Kiai Wahab senang pada ilmu ushul fiqh, sedangkan Kiai Bisri menyukai tafsir dan hadits Nabi Muhammad SAW. Bidang itu juga dinamai kajian naqly, bertumpu kepada ayat-ayat Alquran dan hadits Nabi Muhammad SAW.
Karena itu, Kiai Bisri tidak banyak berkutat dengan penggunaan akal (rasio) sebagaimana Kiai Wahab. Pernah Kiai Wahab bertanya kepada Gus Dur; “Saya dengar kakekmu itu tidak pernah makan di warung?” Gus Dur menjawab, “Memang benar demikian.”
Kiai Wahab kembali bertanya, “Mengapa?” Gus Dur menjawab, “Kiai Bisri tidak menemukan hadits yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah makan di warung.” Kiai Abdul Wahab menga-takan; “Ya, tentu saja karena waktu itu belum ada warung.”
Tetapi pergaulan mereka, tokoh tekstual di satu sisi dan tokoh satunya yang senang menggunakan rasio, ternyata sangat erat. Hal ini tampak ketika ada bahtsul masail. Gus Dur pernah menyaksikan sekitar 40-an orang kiai berkumpul dari pagi hingga sore hari di ruang tamu Kiai Bisri.Ternyata, keduanya berdebat seru, yang satu membolehkan dan yang satu lagi melarang sebuah perbuatan.
Demikian seru mereka berbeda, hingga akhirnya semua kiai yang lain menutup buku/kitab mereka dan mengikuti saja kedua orang itu berdebat. Sampai-sampai, baik Kiai Abdul Wahab maupun Kiai Bisri berdiri dari tempat duduk mereka sambil memukul-mukul meja marmer yang mereka gunakan berdiskusi. Muka keduanya me-merah karena bertahan pada pen-dirian masing-masing.
Akhirnya kemudian Kiai Abdul Wahab menyerang, “Kitab yang Sampeyan gunakan adalah cetakan Kudus, sedangkan kitab saya adalah cetakan Kairo.” Ini adalah tanda Kiai Abdul Wahab kalah argumentasi dan akan menerima pandangan Kiai Bisri. Walau pada forum bahtsul masail itu mereka berbicara sampai memukul-mukul meja dengan wajah memerah, namun ketika tiba-tiba beduk ber-bunyi, Kiai Bisri segera berlari ke sumur di dekat ruang pertemuan tersebut. Di sana, dia naik ke pinggiran sumur dan menimbakan air wudhu bagi iparnya itu. Beda pendapat boleh tapi harus tetap rukun. Demikian kira-kira pegangan mereka.
Kisah menarik lainnya terdapat di buku “Menapak Jejak Mengenal Watak, Sekilas Biografi 26 Tokoh NU”. Dalam resepsi penutupan Kongres Gerakan Pemuda Ansor di Surabaya, April 1980, Pengasuh Pesantren Tebuireng KH Yusuf Hasyim (Pak Ud) membisiki seseorang, “Sakitnya KH Bisri Syansuri semakin parah. Beliau dalam keadaan tidak sadar siang tadi ketika saya tinggalkan berangkat kemari,” ujarnya. Orang yang diberitahu tersentak mendengar bisikan itu. Sebab tiga hari sebelumnya, dia ikut hadir di ruang tamu rumahnya, sewaktu pendiri dan pemimpin Ponpes Mambaul Maarif itu menerima Probosutedjo, pengusaha kenamaan dan adik Presiden Soeharto.
Probosutedjo diundang untuk memberikan ceramah tentang kewiraswastaan dalam Kongres Ansor di Surabaya. Kehadirannya memenuhi undangan tersebut di-manfaatkan sekaligus untuk me-ngunjungi Kiai Bisri yang sedang dalam keadaan sakit. Ketika itu Kiai Bisri menjemput sendiri tamunya di teras tempat kediamannya. Bersa-rung putih dengan garis kotak-kotak kebiruan, mengenakan baju putih dan berkopiah haji. Kiai Bisri mem-persilakan tamu dari Jakarta itu me-masuki ruang depan rumahnya yang tua dan berperabotan sederhana.
Wajahnya, seperti biasa, tampak jernih. Dengan sabar penuh perhatian ia mendengarkan setiap kata yang diucapkan oleh tamunya. Dan dengan suara lembut ia menjawab setiap pertanyaan, menjawab salam dari Presiden Soeharto yang disampaikan oleh Probosutedjo dan dengan halus menolak tawaran berobat ke luar negeri.

Terdapat pula kisah Kiai Bisri dalam buku “Antologi NU; Sejarah, Istilah, Amaliah, Uswah” jilid I. Saat berlangsung Sidang Umum MPR tahun 1978 ada peristiwa luar biasa. Fraksi PPP tidak sepakat dengan keputusan fraksi lain. Setelah berkali-kali adu argumentasi mengenai rancangan ketetapan MPR tentang P4 namun tetap tidak membuahkan hasil. Sementara partai sudah meng-gariskan untuk memegang teguh ama-nat itu, mereka pun keluar sidang.
Seluruh anggota Fraksi PPP segera berdiri. Dipimpin langsung oleh KH Bisri Syansuri, mereka beriringan walk out sebagai tanda tidak setuju terhadap hasil keputusan. Meski sudah berusia 92 tahun, kiai yang menciptakan lambang ka’bah bagi PPP itu malah berjalan paling depan.
Ketegasan lain nampak tatkala DPR membahas RUU tentang perkawinan. Secara kesluruhan RUU itu dinilai banyak bertentangan dengan ketentuan hukum agama Islam. Maka, di mata Kiai Bisri, menghadapi kasus itu, tidak ada alternatif lain kecuali menolaknya.Langkah pertama yang Kiai Bisri lakukan adalah dengan mengumpulkan sejumlah ulama di daerah Jombang untuk membuat RUU tandingan yang akan diajukan ke DPR-RI. Setelah RUU tandingan itu selesai dibahas, lalu disampaikan ke PBNU, yang diterima secara aklamasi.
Setelah itu amandemen RUU itu diajukan ke Majelis Syuro PPP dan diterima. DPP PPP memerintahkan Fraksi PPP DPR-RI agar menjadikan RUU tandingan itu sebagai rancangan yang diterima dan harus diperjuangkan. Setelah melalui proses yang panjang dan melelahkan, serta lebih banyak dilakukan di luar gedung DPR-RI, akhirnya RUU itu disahkan setelah ada revisi dan tidak lagi bertentangan dengan hukum Islam.
Pecinta Ilmu Sejati
Kiai Bisri dilahirkan di Desa Tayu, Pati, Jawa Tengah, tanggal 18 September 1886. Ayahnya bernama Syansuri dan ibunya bernama Mariah. Kiai Bisri adalah anak ketiga dari lima bersaudara yang memperoleh pendidikan awal di beberapa pesantren lokal, antara lain pada KH Abdul Salam di Kajen.Kiai Bisri kemudian berguru kepada KH Kholil di Bangkalan dan KH Hasyim Asy’ari di Tebuireng, Jombang.
Kiai Bisri kemudian mendalami pendidikannya di Mekkah dan belajar ke pada sejumlah ulama terkemuka antara lain Syekh Muhammad Baqir, Syekh Muhammad Sa’id Yamani, Syekh Ibrahim Madani, Syekh Jamal Maliki, Syekh Ahmad Khatib Padang, Syekh Syu’aib Daghistani, dan Kiai Mahfuz Termas. Ketika berada di Mekkah, Kiai Bisri menikahi adik perempuan Kiai Wahab. Di kemudian hari, anak perempuan Kiai Bisri menikah dengan putra KH Hasyim As’ari, KH Wahid Hasyim dan memiliki putra Gus Dur dan KH Solahuddin Wahid (Gus Sholah).
Sepulangnya dari Mekkah, Kiai Bisri menetap di pesantren mertuanya di Tambak Beras, Jombang, selama dua tahun. Kiai Bisri ke-mudian mendirikan Ponpes Mam-baul Maarif di Denanyar, Jombang pada 1917. Saat itu, Kiai Bisri adalah kiai pertama yang mendirikan kelas khusus untuk santri-santri wanita di pesantren yang didirikannya.
Di sisi pergerakan, Kiai Bisri bersama-sama para kiai muda saat itu antara lain Kiai Wahab, KH Mas Mansyur, KH Dahlan Kebondalem dan KH Ridwan, membentuk klub kajian yang diberi nama Taswirul Afkar (konseptualisasi pemikiran) dan sekolah agama dengan nama yang sama, yaitu Madrasah Taswirul Afkar. Sedangkan keterlibatannya dalam upaya pengembangan organisasi NU antara lain berupa pendirian rumah-rumah yatim piatu dan pelayanan kesehatan yang dirintis-nya di berbagai tempat.Di masa penjajahan Jepang, Kiai Bisri terlibat dalam pertahanan negara, yakni menjadi Kepala Staf Markas Oelama Djawa Timur (MODT), yang berkedudukan di Waru, dekat Surabaya.
Pada masa kemerdekaan Kiai Bisri pun terlibat dalam lembaga peme-rintahan, antara lain dalam Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), me-wakili unsur Masyumi. Kiai Bisri juga menjadi anggota Dewan Konstitu-ante tahun 1956 hingga ke masa pemilihan umum tahun 1971. Ketika NU bergabung ke PPP, Kiai Bisri pernah menjadi ketua Majelis Syuro-nya. Kiai Bisri terpilih menjadi ang-gota DPR sampai tahun 1980. Kiai Bisri kemudian wafat dalam usia 94 tahun pada 25 April 1980 atau berte-patan dengan bulan Rajab di Denanyar.
Mundur dari Jabatan Rais Am
Jasa Kiai Bisri dalam membesarkan NU juga tak patut dilupakan. Kiai Bisri turut terlibat terlibat dalam pertemuan pada 31 Januari 1926 di Surabaya saat para ulama menye-pakati berdirinya NU. Pada periode pertama, Kiai Bisri menjadi A’wan Syuriah PBNU dan kemudian pada periode-periode berikutnya Kiai Bisri pernah menjadi Rais Syuriah, Wakil Rais Am dan menjadi Rais Am hingga akhir hayatnya.
Meski dikenal tegas dalam mem-pertahankan prinsip, kesantunan Kiai Bisri juga tak perlu diragukan. Saat berlangsungnya Muktamar NU ke-24 pada tahun 1967 di Bandung, Kiai Bisri menunjukkan sikap tawadlu’ yang perlu kita teladani.
Ketika itu sedang terjadi pemili-han Rais Am yang melibatkan “rivalitas” antara dua kiai sepuh yang sama-sama berwibawa, yaitu Kiai Wahab yang saat itu menjabat Rais Am (incumbent) dengan Kiai Bisri yang menjadi salah satu Rais Syuriah PBNU. Hasil pemilihan ternyata di luar dugaan. Walaupun lebih muda, tiba-tiba Kiai Bisri bisa meraih suara terbanyak. Kiai Wahab pun menerima kekalahan dengan berbesar hati, apalagi yang menga-lahkan sahabat dekatnya sekaligus adik iparnya sendiri.
Demikian halnya Kiai Bisri yang memperoleh kemenangan juga sangat rendah hati. Walaupun telah dipilih oleh muktamirin, tetapi kemudian Kiai Bisri segera memberikan sambutan, selama masih ada Kiai Wahab yang lebih senior dan lebih alim Kiai Bisri tidak bersedKiai Bisri menduduki jabatan itu. “Karena itu saya menyatakan untuk mengundurkan diri dan kembali menyerah-kan jabatan itu kepada Kiai Wahab Chasbullah.” Menanggapi sikap Kiai Bisri, Kiai Wahab menerima amanah itu. Tidak perlu merasa tersinggung, karena walaupun sudah uzur tetapi merasa masih dibutuhkan untuk memimpin NU dalam menghadapi situasi sulit masa orde baru. Sementara Kiai Bisri dipercaya sebagai Wakil Rais Am. Kemudian ketika Kiai Wahab wafat pada tahun 1971, baru Kiai Bisri menduduki posisi sebagai Rais Am hingga wafat pada tahun 1980. (AULA Juni 2010)


BIOGRAFI DR. KH. MA. SAHAL MAHFUDZ
 
 
Nama lengkap KH. MA. Sahal Mahfudz (selanjutnya disebut dengan Kyai Sahal) adalah Muhammad Ahmad Sahal bin Mahfudz bin Abd. Salam Al-Hajaini lahir di Desa Kajen, Margoyoso Pati pada tanggal 17 Desember 1937.
Beliau adalah anak ketiga dari enam bersaudara yang merupakan
 ulama kontemporer Indonesia yang disegani karena kehati-hatiannya dalam bersikap dan
kedalaman ilmunya dalam memberikan fatwa terhadap masyarakat baik dalam ruang lingkup lokal
 (masyarakat dan pesantren yang dipimpinnya) dan ruang lingkup nasional.
Sebelum orang mengenal Kyai Sahal, orang akan mengenalnya sebagai sosok yang biasa-biasa saja. Dengan penampilan yang sederhana orang mengira, beliau sebagai orang biasa yang tidak punya pengetahuan apapun. Namun ternyata pengetahuan dan kepakaran Kyai Sahal sudah diakui. Salah satu contoh, sosok yang menjadi pengasuh pesantren2 ini pernah bergabung dengan institusi yang bergerak dalam bidang pendidikan, yaitu menjadi anggota BPPN3 selama 2 periode yaitu dari tahun 1993-2003.
Kyai Sahal lahir dari pasangan Kyai Mahfudz bin Abd. Salam al- Hafidz (w 1944 M) dan Hj. Badi’ah (w. 1945 M) yang sedari lahir hidup di pesantren, dibesarkan dalam lingkungan pesantren, belajar hingga ladang pengabdiannya pun ada di pesantren. Saudara Kyai Sahal yang berjumlah lima orang yaitu, M. Hasyim, Hj. Muzayyanah (istri KH. Mansyur Pengasuh PP An-Nur Lasem), Salamah (istri KH. Mawardi, pengasuh PP Bugel-Jepara, kakak istri KH. Abdullah Salam ), Hj. Fadhilah (istri KH. Rodhi Sholeh Jakarta), Hj. Khodijah (istri KH. Maddah, pengasuh PP Assuniyah Jember yang juga cucu KH. Nawawi, adik kandung KH. Abdussalam, kakek KH. Sahal.).
Pada tahun 1968/69 Kyai Sahal menikah dengan Dra Hj Nafisah binti KH. Abdul Fatah Hasyim, Pengasuh Pesantren Fathimiyah Tambak Beras Jombang dan berputra Abdul Ghofar Rozin yang sejak sekarang sudah dipersiapkan untuk menggantikan kepemimpinan Kyai Sahal.
A. Latar Belakang Kehidupan
KH. Sahal Mahfudz dididik oleh ayahnya yaitu KH. Mahfudz dan memiliki jalur nasab dengan Syekh Ahmad Mutamakkin, namun KH. Sahal Mahfudz sangat dipengaruhi oleh kekyainan pamannya sendiri, K.H. Abdullah Salam. Syekh Ahmad Mutamakkin sendiri termasuk salah seorang pejuang Islam yang gigih, seorang ahli hukum Islam (faqih) yang disegani, seorang guru besar agama dan lebih dari itu oleh pengikutnya dianggap sebagai salah seorang waliyullah.
Sedari kecil Kyai Sahal dididik dan dibesarkan dalam semangat memelihara derajat penguasaan ilmu-ilmu keagamaan tradisional. Apalagi Kiai Mahfudh Salam (yang juga bapaknya sendiri) seorang kiai ampuh, dan adik sepupu almarhum Rais Aam NU, Kiai Bisri Syamsuri. Selain itu juga terkenal sebagai hafidzul qur’an yang wira’i dan zuhud dengan pengetahuan agama yang mendalam terutama ilmu ushul.
Pesantren adalah tempat mencari ilmu sekaligus tempat pengabdian Kyai Sahal. Dedikasinya kepada pesantren, pengembangan masyarakat, dan pengembangan ilmu fiqh tidak pernah diragukan Pada dirinya terdapat tradisi ketundukan mutlak pada ketentuan hukum dalam kitab-kitab fiqih dan keserasian total dengan akhlak ideal yang dituntut dari ulama tradisional. Atau dalam istilah pesantren, ada semangat tafaqquh (memperdalam pengetahuan hukum agama) dan semangat tawarru’ (bermoral luhur).
Ada dua faktor yang mempengaruhi pemikiran Kyai Sahal yaitu, pertama adalah lingkungan keluarganya. Bapak beliau yaitu Kyai Mahfudz adalah orang yang sangat peduli pada masyarakat. Setelah Kyai Mahfudz meninggal, Kyai Sahal kemudian diasuh oleh KH. Abdullah Salam, orang yang sangat concern pada kepentingan masyarakat juga. Beliau adalah orang yang mendalami tasawuf juga orang yang berjiwa sosial tinggi. Dalam melakukan sesuatu ada nilai transendental yang diajarkan tidak hanya dilihat dari segi materi. Kyai Mahfudz orang yang cerdas, tegas dan peka terhadap persoalan sosial dan KH. Abdullah Salam juga orang yang tegas, cerdas, wira’I, muru’ah, dan murah hati. Di bawah asuhan dua orang yang luar biasa dan mempunyai karakter kuat inilah Kyai Sahal dibesarkan.
Yang kedua dari segi intelektual, Kyai Sahal sangat dipengaruhi oleh pemikiran Imam Ghazali. Dalam berbagai teori Kyai Sahal banyak mengutip pemikiran Imam Ghazali.13 Selama belajar di pesantren inilah Kyai Sahal berinteraksi dengan berbagai orang dari segala lapisan masyarakat baik kalangan jelata maupun kalangan elit masyarakat yang pada akhirnya mempengaruhi pemikiran beliau. Selepas dari pesantren beliau aktif di berbagai organisasi kemasyarakatan. Perpaduan antara pengalaman di dunia pesantren dan organisasi inilah yang diimplementasikan oleh Kyai Sahal dalam berbagai pemikiran beliau.
Minat baca Kyai Sahal sangat tinggi dan bacaannya cukup banyak terbukti beliau punya koleksi 1.800-an buku di rumahnya. Meskipun Kyai Sahal orang pesantren bacaannya cukup beragam, diantaranya tentang psikologi, bahkan novel detektif walaupun bacaan yang menjadi favoritnya adalah buku tentang agama. Beliau membaca dalam artian konteks kejadian. Tidak heran kalau Kiai Sahal—meminjam istilah Gus Dur—lalu ‘menjadi jago’ sejak usia muda. Belum lagi genap berusia 40 tahun, dirinya telah menunjukkan kemampuan ampuh itu dalam forum-forum fiqih. Terbukti pada berbagai sidang Bahtsu Al-Masail tiga bulanan yang diadakan Syuriah NU Jawa Tengah, beliau sudah aktif di dalamnya.
Kyai Sahal adalah pemimpin Pesantren Maslakul Huda Putra sejak tahun 1963. Pesantren di Kajen,
Margoyoso, Pati, Jawa Tengah, ini didirikan oleh ayahnya, KH Mahfudz Salam, tahun 1910. Sebagai pemimpin pesantren, Kyai Sahal dikenal sebagai pendobrak pemikiran tradisional di kalangan NU yang mayoritas berasal dari kalangan akar rumput. Sikap demokratisnya menonjol dan dia mendorong kemandirian dengan memajukan kehidupan masyarakat di sekitar pesantrennya melalui pengembangan pendidikan, ekonomi dan kesehatan.
B. Pendidikan dan Guru-guru KH Sahal
Untuk urusan pendidikan, yang paling berperan dalam kehidupan Kyai Sahal adalah KH. Abdullah Salam yang mendidiknya akan pentingnya ilmu dan tingginya cita-cita. KH. Abdullah Salam tidak pernah mendikte seseorang. Kyai Sahal diberi kebebasan dalam menuntut ilmu dimanapun. Tujuannya agar Kyai Sahal bertanggung jawab pada pilihannya. Apalagi dalam menuntut ilmu Kyai Sahal menentukan adanya target, hal inilah yang menjadi kunci kesuksesan beliau dalam belajar. Ketika belajar di Mathali’ul Falah Kyai Sahal berkesempatan mendalami nahwu sharaf, di Pesantren Bendo memperdalam fiqh dan tasawuf, sedangkan sewaktu di Pesantren Sarang mendalami balaghah dan ushul fiqh.
Memulai pendidikannya di Madrasah Ibtidaiyah (1943-1949), Madrasah Tsanawiyah (1950-1953) Perguruan Islam Mathaliul Falah, Kajen, Pati. Setelah beberapa tahun belajar di lingkungannya sendiri, Kyai Sahal muda nyantri ke Pesantren Bendo, Pare, Kediri, Jawa Timur di bawah asuhan Kiai Muhajir, Selanjutnya tahun 1957-1960 dia belajar di pesantren Sarang, Rembang, di bawah bimbingan Kiai Zubair. Pada pertengahan tahun 1960-an, Kyai Sahal belajar ke Mekah di bawah bimbingan langsung Syaikh Yasin al-Fadani. Sementara itu, pendidikan umumnya hanya diperoleh dari kursus ilmu umum di Kajen (1951-1953).
Di Bendo Kyai Sahal mendalami keilmuan tasawuf dan fiqih termasuk kitab yang dikajinya adalah Ihya Ulumuddin, Mahalli, Fathul Wahab, Fathul Mu’in, Bajuri, Taqrib, Sulamut Taufiq, Sullam Safinah, Sullamul Munajat dan kitab-kitab kecil lainnya. Di samping itu juga aktif mengadakan halaqah- halaqah kecil-kecilan dengan teman-teman senior. Sedangkan di Pesantren Sarang Kyai Sahal mengaji pada Kyai Zubair19 tentang ushul fiqih, qawa’id fiqh dan balaghah. Dan kepada Kyai Ahmad beliau mengaji tentang Hikam. Kitab yang dipelajari waktu di Sarang antara lain, Jam’ul Jawami dan Uqudul Juman, Tafsir Baidlowi tidak sampai khatam, Lubbabun Nuqul sampai khatam, Manhaju Dzawin Nazhar karangan Syekh Mahfudz At-Tarmasi dan lain-lain.
C. Tugas dan Jabatan
Kyai Sahal bukan saja seorang ulama yang senantiasa ditunggu fatwanya, atau seorang kiai yang dikelilingi ribuan santri, melainkan juga seorang pemikir yang menulis ratusan risalah (makalah) berbahasa Arab dan Indonesia, dan juga aktivis LSM yang mempunyai kepedulian tinggi terhadap problem masyarakat kecil di sekelilingnya. Penghargaan yang diterima beliau terkait dengan masyarakat kecil adalah penganugerahan gelar Doktor Kehormatan (Doctor Honoris Causa) dalam bidang pengembangan ilmu fiqh serta pengembangan pesantren dan masyarakat pada 18 Juni 2003 di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Peran dalam organisasipun sangat signifikan, terbukti beliau dua periode menjabat Rais Aam Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (1999-2009) dan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) masa bakti 2000-2010. Pada Musyawarah Nasional (Munas) MUI VII (28/7/2005) Rais Aam Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU), itu terpilih kembali untuk periode kedua menjabat Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) masa bakti 2005-2010.
Pada Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) di Donohudan, Boyolali, Jateng., Minggu (28/11-2/12/2004), beliau pun dipilih untuk periode kedua 2004-2009 menjadi Rais Aam Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU). Pada 26 November 1999, untuk pertama kalinya dia dipercaya menjadi Rais Aam Syuriah PB NU, mengetuai lembaga yang menentukan arah dan kebijaksanaan organisasi kemasyarakatan yang beranggotakan lebih 30-an juta orang itu. KH Sahal yang sebelumnya selama 10 tahun memimpin Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Tengah, juga didaulat menjadi Ketua Umum Dewan Pimpinan MUI pada Juni 2000 sampai tahun 2005.
Selain jabatan-jabatan diatas, jabatan lain yang sekarang masih diemban oleh beliau adalah sebagai Rektor INISNU Jepara, Jawa Tengah (1989-sekarang) dan pengasuh Pengasuh Pondok Pesantren Maslakul Huda, Kajen, Pati (1963 - Sekarang).
Sedangkan pekerjaan yang pernah beliau lakukan, adalah guru di Pesantren Sarang, Rembang (1958-1961), Dosen kuliah takhassus fiqh di Kajen (1966-1970), Dosen di Fakultas Tarbiyah UNCOK, Pati (1974-1976), Dosen di Fak. Syariah IAIN Walisongo Semarang (1982-1985), Rektor Institut Islam Nahdlatul Ulama (INISNU) Jepara (1989-sekarang), Kolumnis tetap di Majalah AULA (1988-1990), Kolumnis tetap di Harian Suara Merdeka, Semarang (1991-sekarang), Rais 'Am Syuriyah PBNU (1999-2004), Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI, 2000-2005), Ketua Dewan Syari'ah Nasional (DSN, 2000-2005), dan sebagai Ketua Dewan Pengawas Syari'ah pada Asuransi Jiwa Bersama Putra (2002-sekarang).
Sosok seperti Kyai Sahal ini kiranya layak menjadi teladan bagi semua orang. Sebagai pengakuan atas ketokohannya, beliau telah banyak mendapatkan penghargaan, diantaranya Tokoh Perdamaian Dunia (1984), Manggala Kencana Kelas I (1985-1986), Bintang Maha Putra Utarna (2000) dan Tokoh Pemersatu Bangsa (2002).
Sepak terjang KH. Sahal tidak hanya lingkup dalam negeri saja. Pengalaman yang telah didapatkan dari luar negeri adalah, dalam rangka studi komparatif pengembangan masyarakat ke Filipina tahun 1983 atas sponsor USAID, studi komparatif pengembangan masyarakat ke Korea Selatan tahun 1983 atas sponsor USAID, mengunjungi pusat Islam di Jepang tahun 1983, studi komparatif pengembangan masyarakat ke Srilanka tahun 1984, studi komparatif pengembangan masyarakat ke Malaysia tahun 1984, delegasi NU berkunjung ke Arab Saudi atas sponsor Dar al-Ifta’ Riyadh tahun 1987, dialog ke Kairo atas sponsor BKKBN Pusat tahun 1992, berkunjung ke Malaysia dan Thailand untuk kepentingan Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (BPPN) tahun 1997.
D. Karya-karya KH. MA. Sahal Mahfudz
Kyai Sahal adalah seorang pakar fiqih (hukum Islam), yang sejak menjadi santri seolah sudah terprogram untuk menguasai spesifikasi ilmu tertentu yaitu dalam bidang ilmu Ushul Fiqih, Bahasa Arab dan Ilmu Kemasyarakatan. Namun beliau juga mampu memberikan solusi permasalahan umat yang tak hanya terkait dengan tiga bidang tersebut, contohnya dalam bidang kesehatan dan beliau menemukan suatu bagian tersendiri dalam fiqh.
Dalam bidang kesehatan Kyai Sahal mendapat penghargaan dari WHO dengan gagasannya mendirikan taman gizi yang digerakkan para santri untuk menangani anak-anak balita (hampir seperti Posyandu). Selain itu juga mendirikan balai kesehatan yang sekarang berkembang menjadi Rumah Sakit Islam.
Berbicara tentang karya beliau, pada bagian fiqh beliau menulis seperti Al-Tsamarah al-Hajainiyah yang membicarakan masalah fuqaha, al-Barokatu al- Jumu’ah ini berbicara tentang gramatika Arab. Sedangkan karya Kyai Sahal yang berbentuk tulisan lainnya adalah:
Buku (kumpulan makalah yang diterbitkan):
Thariqatal-Hushul ila Ghayahal-Ushul, (Surabaya: Diantarna, 2000)
Pesantren Mencari Makna, (Jakarta: Pustaka Ciganjur, 1999)
Al-Bayan al-Mulamma' 'an Alfdz al-Lumd", (Semarang: Thoha Putra, 1999)
Telaah Fikih Sosial, Dialog dengan KH. MA. Sahal Mahfudh, (Semarang: Suara Merdeka, 1997)
Nuansa Fiqh Sosial (Yogyakarta: LKiS, 1994)
Ensiklopedi Ijma' (terjemahan bersama KH. Mustofa Bisri dari kitab Mausu'ah al-Ij ma'). (Jakarta; Pustaka Firdaus, 1987).
Al-Tsamarah al-Hajainiyah, I960 (Nurussalam, t.t)
Luma' al-Hikmah ila Musalsalat al-Muhimmat, (Diktat Pesantren Maslakul Huda, Pati).
Al-Faraid al-Ajibah, 1959 (Diktat Pesantren Maslakul Huda, Pati)
Risalah dan Makalah (tidak diterbitkan):
Tipologi Sumber Day a Manusia Jepara dalam Menghadapi AFTA 2003 (Workshop KKNINISNU Jepara, 29 Pebruari 2003).
Strategi dan Pengembangan SDM bagi Institusi Non-Pemerintah, (Lokakarya Lakpesdam NU, Bogor, 18 April 2000).
Mengubah Pemahaman atas Masyarakat: Meletakkan Paradigma Kebangsaan dalam Perspektif Sosial (Silarurahmi Pemda II Ulama dan Tokoh Masyarakat Purwodadi, 18 Maret 2000).
Pokok-Pokok Pikiran tentang Militer dan Agama (Halaqah Nasional PB NU dan P3M, Malang, 18 April 2000)
Prospek Sarjana Muslim Abad XXI, (Stadium General STAI al-Falah Assuniyah, Jember, 12 September 1998)
Keluarga Maslahah dan Kehidupan Modern, (Seminar Sehari LKKNU, Evaluasi Kemitraan NU-BKKBN, Jakarta, 3 Juni 1998)
Pendidikan Agama dan Pengaruhnya terhadap Penghayatan dan Pengamalan Budi Pekerti, (Sarasehan Peningkatan Moral Warga Negara Berdasarkan Pancasila BP7 Propinsi Jawa Tengah, 19 Juni 1997)
Metode Pembinaan Aliran Sempalan dalam Islam, (Semarang, 11 Desember 1996)
Perpustakaan dan Peningkatan SDM Menurut Visi Islam, (Seminar LP Ma'arif, Jepara, 14 Juli 1996)
Arah Pengembangan Ekonomi dalam Upaya Pemberdayaan Ekonomi Umat, (Seminar Sehari, Jember, 27 Desember 1995)
Pendidikan Pesantren sebagai Suatu Alternatif Pendidikan Nasional, (Seminar Nasional tentang Peranan Lembaga Pendidikan Islam dalam Peningkatan Kualitas SDM Pasca 50 tahun Indonesia Merdeka, Surabaya, 2 Juli 1995)
Peningkatan Penyelenggaraan Ibadah Haji yang Berkualitas, (disampaikan dalam Diskusi Panel, Semarang, 27 Juni 1995)
Pandangan Islam terhadap Wajib Belajar, (Penataran Sosialisasi Wajib belajar 9 Tahun, Semarang 10 Oktober 1994)
Perspektif dan Prospek Madrasah Diniyah, (Surabaya, 16 Mei 1994)
Fiqh Sosial sebagai Alternatif Pemahaman Beragama Masyarakat, (disampaikan dalam kuliah umum IKAHA, Jombang, 28 Desember 1994)
Reorientasi Pemahaman Fiqh, Menyikapi Pergeseran Perilaku Masyarakat, (disampaikan pada Diskusi Dosen Institut Hasyim Asy'ari, Jombang, 27 Desember 1994)
Sebuah Releksi tentang Pesantren, (Pati, 21 Agustus 1993)
Posisi Umat Islam Indonesia dalam Era Demokratisasi dari Sudut Kajian Politis, (Forum Silaturahmi PP Jateng, Semarang, 5 September 1992).
Kepemimpinan Politik yang Berkeadilan dalam Islam, (Halaqah Fiqh Imaniyah, Yogyakarta, 3-5 Nopember 1992)
Peran Ulama dan Pesantren dalam Upaya Peningkatan Derajat Kesehatan Umat, (Sarasehan Opening RSU Sultan Agung, Semarang, 26 Agustus 1992).
Pandangan Islam Terhadap AIDS, (Seminar, Surabaya,1 Desember 1992)
Kata Pengantar dalam buku Quo Vadis NU karya Kacung Marijan, (Pati, 13 Pebruari 1992)
Peranan Agama dalam Pembinaan Gizi dan Kesehatan Keluarga, Pandangan dari Segi Posisi Tokoh Agama, Muallim, dan Pranata Agama, (Muzakarah Nasional, Bogor, 2 Desember 1991)
Mempersiapkan Generasi Muda Islam Potensial, (Siaran Mimbar Agama Islam TVRI, Jakarta, 24 Oktober 1991)
Moral dan Etika dalam Pembangunan, (Seminar Kodam IV, Semarang, 18-19 September 1991)
Pluralitas Gerakan Islam dan Tantangan Indonesia Masa Depan, Perpsketif Sosial Ekonomi, (Seminar di Yogyakarta, 10 Maret 1991)
Islam dan Politik, (Seminar, Kendal, 4 Maret 1989)
Filosofi dan Strategi Pengembangan Masyarakat di Lingkungan NU, (disampaikan dalam Temu Wicara LSM, Kudus, 10 September 1989)
Disiplin dan Ketahanan Nasional, Sebuah Tinjauan dari Ajaran Islam, (Forum MUIII, Kendal, 8 Oktober 1988)
Relevansi Ulumuddiyanah di Pesantren dan Tantangan Masyarakat, (Mudzakarah, P3M, Mranggen, 19-21 September 1988)
Prospek Pesantren dalam Pengembangan Science, (Refreshing Course KPM, Tambak Beras, Jombang 19 Januari 1988)
Ajaran Aswaja dan Kaitannya dengan Sistem Masyarakat, (LKL GP Anshor dan Fatayat, Jepara 12-17 Februari 1988)
AIDS dan Prostisusi dari Dimensi Agama Islam, (Seminar AIDS dan Prostitusi YAASKI, Yogyakarta, 21 Juni 1987)
Sumbangan Wawasan tentang Madrasah dan Ma'arif, (Raker LP Ma'arif, Pati, 21 Desember 1986)
Program KB dan Ulama, (Pati, 27 Oktober 1986)
Hismawati dan Taman Gizi, (Sarasehan gizi antar santriwati,
Administrasi Pembukuan Keuangan Menurut Pandangan Islam, (Latihan Administrasi Pembukuan dan Keuangan bagi TPM, Pan, 8 April 1986)
Pendekatan Pola Pesantren sebagai Salah Satu Alternatif membudayakan NKKBS, (Rapat Konsultasi Nasional Bidang, KB, Jakarta, 23-27 Januari 1984)
Pelaksanaan Pendidikan Kependudukan di Pesantren, (Lokakarya Pendidikan Kependudukan di Pesantren, (Jakarta, 6-8 Januari 1983)
Tanggapan atas Pokok-Pokok Pikiran Pembaharuan Pendidikan Nasional, (27 Nopember 1979)
Peningkatan Sosial Amaliah Islam, (Pekan Orientasi Ulama Khotib, Pati, 21-23 Pebruari 1977)
Intifah al-Wajadain, (Risalah tidak diterbitkan)
Wasmah al-Sibydn ild I'tiqdd ma' da al-Rahman, (Risalah tidak diterbitkan)
I'dnah al-Ashhdb, 1961 (Risalah tidak diterbitkan)
Faid al-Hija syarah Nail al-Raja dan Nazhdm Safinah al-Naja, 1961 (Risalah tidak diterbitkan)
Al-Tarjamah al-Munbalijah 'an Qasiidah al-Munfarijah, (Risalah tidak diterbitkan)