Biografi KH Kholil Bangkalan Madura
Biografi KH Kholil Bangkalan Madura © Hari
Selasa tanggal 11 Jumadil Akhir 1235 H atau 27 Januari 1820 M, Abdul
Lathif seorang Kyai di Kampung Senenan, Desa Kemayoran, Kecamatan
Bangkalan, Kabupaten Bangkalan, ujung Barat Pulau Madura, Jawa Timur,
merasakan kegembiraan yang teramat sangat. Karena hari itu, dari rahim
istrinya lahir seorang anak laki-laki yang sehat, yang diberinya nama
Muhammad Kholil, yang kelak akan terkenal dengan nama Mbah Kholil.
KH. Abdul Lathif sangat berharap agar
anaknya di kemudian hari menjadi pemimpin umat, sebagaimana nenek
moyangnya. Seusai mengadzani telinga kanan dan mengiqamati telinga kiri
sang bayi, KH. Abdul Lathif memohon kepada Allah agar Dia mengabulkan
permohonannya.
Mbah Kholil kecil berasal dari keluarga
ulama. Ayahnya, KH. Abdul Lathif, mempunyai pertalian darah dengan Sunan
Gunung Jati. Ayah Abdul Lathif adalah Kyai Hamim, anak dari Kyai Abdul
Karim. Yang disebut terakhir ini adalah anak dari Kyai Muharram bin Kyai
Asror Karomah bin Kyai Abdullah bin Sayyid Sulaiman. Sayyid Sulaiman
adalah cucu Sunan Gunung Jati. Maka tak salah kalau KH. Abdul Lathif
mendambakan anaknya kelak bisa mengikuti jejak Sunan Gunung Jati karena
memang dia masih terhitung keturunannya.
Oleh ayahnya, ia dididik dengan sangat
ketat. Mbah Kholil kecil memang menunjukkan bakat yang istimewa,
kehausannya akan ilmu, terutama ilmu Fiqh dan nahwu, sangat luar biasa.
Bahkan ia sudah hafal dengan baik Nazham Alfiyah Ibnu Malik (seribu bait
ilmu Nahwu) sejak usia muda. Untuk memenuhi harapan dan juga
kehausannya mengenai ilmu Fiqh dan ilmu yang lainnya, maka orang tua
Mbah Kholil kecil mengirimnya ke berbagai pesantren untuk menimba ilmu.
Belajar ke Pesantren
Mengawali pengembaraannya, sekitar tahun
1850-an, ketika usianya menjelang tiga puluh, Mbah Kholil muda belajar
kepada Kyai Muhammad Nur di Pondok Pesantren Langitan, Tuban, Jawa
Timur. Dari Langitan beliau pindah ke Pondok Pesantren Cangaan, Bangil,
Pasuruan. Kemudian beliau pindah ke Pondok Pesantren Keboncandi. Selama
belajar di Pondok Pesantren ini beliau belajar pula kepada Kyai Nur
Hasan yang menetap di Sidogiri, 7 kilometer dari Keboncandi. Kyai Nur
Hasan ini, sesungguhnya, masih mempunyai pertalian keluarga dengannya.
Jarak antara Keboncandi dan Sidogiri
sekitar 7 Kilometer. Tetapi, untuk mendapatkan ilmu, Mbah Kholil muda
rela melakoni perjalanan yang terbilang lumayan jauh itu setiap harinya.
Di setiap perjalanannya dari Keboncandi ke Sidogiri, ia tak pernah lupa
membaca Surah Yasin. Ini dilakukannya hingga ia -dalam perjalanannya
itu- khatam berkali-kali.
Orang yang Mandiri
Sebenarnya, bisa saja Mbah Kholil muda
tinggal di Sidogiri selama nyantri kepada Kyai Nur Hasan, tetapi ada
alasan yang cukup kuat bagi dia untuk tetap tinggal di Keboncandi,
meskipun Mbah Kholil muda sebenarnya berasal dari keluarga yang dari
segi perekonomiannya cukup berada. Ini bisa ditelisik dari hasil yang
diperoleh ayahnya dalam bertani.
Akan tetapi, Mbah Kholil muda tetap saja
menjadi orang yang mandiri dan tidak mau merepotkan orangtuanya. Karena
itu, selama nyantri di Sidogiri, Mbah Kholil tinggal di Keboncandi agar
bisa nyambi menjadi buruh batik. Dari hasil menjadi buruh batik itulah
dia memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
Sewaktu menjadi Santri Mbah Kholil telah
menghafal beberapa matan, seperti Matan Alfiyah Ibnu Malik (Tata Bahasa
Arab). Disamping itu beliau juga seorang Hafidz Al-Quran. Beliau mampu
membaca Al-Qur’an dalam Qira’at Sab’ah (tujuh cara membaca Al-Quran).
Ke Mekkah
Kemandirian Mbah Kholil muda juga nampak
ketika ia berkeinginan untuk menimba ilmu ke Mekkah. Karena pada masa
itu, belajar ke Mekkah merupakan cita-cita semua santri. Dan untuk
mewujudkan impiannya kali ini, lagi-lagi Mbah Kholil muda tidak
menyatakan niatnya kepada orangtuanya, apalagi meminta ongkos kepada
kedua orangtuanya.
Kemudian, setelah Mbah Kholil memutar
otak untuk mencari jalan kluarnya, akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke
sebuah pesantren di Banyuwangi. Karena, pengasuh pesantren itu terkenal
mempunyai kebun kelapa yang cukup luas. Dan selama nyantri di
Banyuwangi ini, Mbah Kholil nyambi menjadi “buruh” pemetik kelapa pada
gurunya. Untuk setiap pohonnya, dia mendapat upah 2,5 sen. Uang yang
diperolehnya tersebut dia tabung. Sedangkan untuk makan, Mbah Kholil
menyiasatinya dengan mengisi bak mandi, mencuci dan melakukan pekerjaan
rumah lainnya, serta menjadi juru masak teman-temannya. Dari situlah
Mbah Kholil bisa makan gratis.
Akhirnya, pada tahun 1859 M, saat usianya
mencapai 24 tahun, Mbah Kholil memutuskan untuk pergi ke Mekkah. Tetapi
sebelum berangkat, Mbah Kholil menikah dahulu dengan Nyai Asyik, anak
perempuan Lodra Putih.
Setelah menikah, berangkatlah dia ke
Mekkah. Dan memang benar, untuk ongkos pelayarannya bisa tertutupi dari
hasil tabungannya selama nyantri di Banyuwangi, sedangkan untuk makan
selama pelayaran, konon, Mbah Kholil berpuasa. Hal tersebut dilakukan
Mbah Kholil bukan dalam rangka menghemat uang, akan tetapi untuk lebih
mendekatkan diri kepada Allah, agar perjalanannya selamat.
Pada tahun 1276 H/1859 M, Mbah Kholil
Belajar di Mekkah. Di Mekkah Mbah Kholil belajar dengan Syeikh Nawawi
Al-Bantani (Guru Ulama Indonesia dari Banten). Diantara gurunya di
Mekkah ialah Syeikh Utsman bin Hasan Ad-Dimyathi, Sayyid Ahmad bin Zaini
Dahlan, Syeikh Mustafa bin Muhammad Al-Afifi Al-Makki, Syeikh Abdul
Hamid bin Mahmud Asy-Syarwani. Beberapa sanad hadits yang musalsal
diterima dari Syeikh Nawawi Al-Bantani dan Abdul Ghani bin Subuh bin
Ismail Al-Bimawi (Bima, Sumbawa).
Sebagai pemuda Jawa (sebutan yang
digunakan orang Arab waktu itu untuk menyebut orang Indonesia) pada
umumnya, Mbah Kholil belajar pada para Syeikh dari berbagai madzhab yang
mengajar di Masjid Al-Haram. Namun kecenderungannya untuk mengikuti
Madzhab Syafi’i tak dapat disembunyikan. Karena itu, tak heran kalau
kemudian dia lebih banyak mengaji kepada para Syeikh yang bermadzhab
Syafi’i.
Konon, selama di Mekkah, Mbah Kholil
lebih banyak makan kulit buah semangka ketimbang makanan lain yang lebih
layak. Realitas ini –bagi teman-temannya, cukup mengherankan. Teman
seangkatan Mbah Kholil antara lain: Syeikh Nawawi Al-Bantani, Syeikh
Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, dan Syeikh Muhammad Yasin Al-Fadani.
Mereka semua tak habis pikir dengan kebiasaan dan sikap keprihatinan
temannya itu.
Kebiasaan memakan kulit buah semangka
kemungkinan besar dipengaruhi ajaran ngrowot (vegetarian) dari
Al-Ghazali, salah seorang ulama yang dikagumi dan menjadi panutannya.
Mbah Kholil sewaktu belajar di Mekkah
seangkatan dengan KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Chasbullah dan KH.
Muhammad Dahlan. Namum Ulama-ulama dahulu punya kebiasaan memanggil Guru
sesama rekannya, dan Mbah Kholil yang dituakan dan dimuliakan di antara
mereka.
Sewaktu berada di Mekkah untuk mencukupi
kebutuhan sehari-hari, Mbah Kholil bekerja mengambil upah sebagai
penyalin kitab-kitab yang diperlukan oleh para pelajar. Diriwayatkan
bahwa pada waktu itulah timbul ilham antara mereka bertiga, yaitu:
Syeikh Nawawi Al-Bantani, Mbah Kholil dan Syeikh Shaleh As-Samarani
(Semarang) menyusun kaidah penulisan Huruf Pegon. Huruf Pegon ialah
tulisan Arab yang digunakan untuk tulisan dalam bahasa Jawa, Madura dan
Sunda. Huruf Pegon tidak ubahnya tulisan Melayu/Jawi yang digunakan
untuk penulisan bahasa Melayu.
Mbah Kholil cukup lama belajar di
beberapa pondok pesantren di Jawa dan Mekkah. Maka sewaktu pulang dari
Mekkah, beliau terkenal sebagai ahli/pakar nahwu, fiqh, tarekat dan
ilmu-ilmu lainnya. Untuk mengembangkan pengetahuan keislaman yang telah
diperolehnya, Mbah Kholil selanjutnya mendirikan pondok-pesantren di
Desa Cengkebuan, sekitar 1 kilometer arah Barat Laut dari desa
kelahirannya.
Kembali ke Tanah Air
Sepulangnya dari Tanah Arab (tak ada
catatan resmi mengenai tahun kepulangannya), Mbah Kholil dikenal sebagai
seorang ahli Fiqh dan Tarekat. Bahkan pada akhirnya, dia pun dikenal
sebagai salah seorang Kyai yang dapat memadukan kedua hal itu dengan
serasi. Dia juga dikenal sebagai al-Hafidz (hafal Al-Qur’an 30 Juz).
Hingga akhirnya, Mbah Kholil dapat mendirikan sebuah pesantren di daerah
Cengkubuan, sekitar 1 Kilometer Barat Laut dari desa kelahirannya.
Dari hari ke hari, banyak santri yang
berdatangan dari desa-desa sekitarnya. Namun, setelah putrinya, Siti
Khatimah dinikahkan dengan keponakannya sendiri, yaitu Kyai Muntaha;
pesantren di Desa Cengkubuan itu kemudian diserahkan kepada menantunya.
Mbah Kholil sendiri mendirikan pesantren lagi di daerah Kademangan,
hampir di pusat kota; sekitar 200 meter sebelah Barat alun-alun kota
Kabupaten Bangkalan. Letak Pesantren yang baru itu, hanya selang 1
Kilometer dari Pesantren lama dan desa kelahirannya.
Di tempat yang baru ini, Mbah Kholil juga
cepat memperoleh santri lagi, bukan saja dari daerah sekitar, tetapi
juga dari Tanah Seberang Pulau Jawa. Santri pertama yang datang dari
Jawa tercatat bernama Hasyim Asy’ari, dari Jombang.
Di sisi lain, Mbah Kholil disamping
dikenal sebagai ahli Fiqh dan ilmu Alat (nahwu dan sharaf), ia juga
dikenal sebagai orang yang “waskita,” weruh sak durunge winarah (tahu
sebelum terjadi). Malahan dalam hal yang terakhir ini, nama Mbah Kholil
lebih dikenal.
Geo Sosio Politika
Pada masa hidup Mbah Kholil, terjadi
sebuah penyebaran Ajaran Tarekat Naqsyabandiyah di daerah Madura. Mbah
Kholil sendiri dikenal luas sebagai ahli tarekat; meskipun tidak ada
sumber yang menyebutkan kepada siapa Mbah Kholil belajar Tarekat. Tapi,
menurut sumber dari Martin Van Bruinessen (1992), diyakini terdapat
sebuah silsilah bahwa Mbah Kholil belajar kepada Kyai ‘Abdul Adzim dari
Bangkalan (salah satu ahli Tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah). Tetapi,
Martin masih ragu, apakah Mbah Kholil penganut Tarekat tersebut atau
tidak?
Masa hidup Mbah Kholil, tidak luput dari
gejolak perlawanan terhadap penjajah. Tetapi, dengan caranya sendiri
Mbah Kholil melakukan perlawanan.
Pertama: Ia melakukannya dalam bidang
pendidikan. Dalam bidang ini, Mbah Kholil mempersiapkan murid-muridnya
untuk menjadi pemimpin yang berilmu, berwawasan, tangguh dan mempunyai
integritas, baik kepada agama maupun bangsa. Ini dibuktikan dengan
banyaknya pemimpin umat dan bangsa yang lahir dari tangannya; salah satu
diantaranya adalah KH. Hasyim Asy’ari, Pendiri Pesantren Tebu Ireng.
Kedua: Mbah Kholil tidak melakukan
perlawanan secara terbuka, melainkan ia lebih banyak berada di balik
layar. Realitas ini tergambar, bahwa ia tak segan-segan untuk memberi
suwuk (mengisi kekuatan batin, tenaga dalam) kepada pejuang. Mbah Kholil
pun tidak keberatan pesantrennya dijadikan tempat persembunyian.
Ketika pihak penjajah mengetahuinya, Mbah
Kholil ditangkap dengan harapan para pejuang menyerahkan diri. Tetapi,
ditangkapnya Mbah Kholil, malah membuat pusing pihak Belanda. Karena ada
kejadian-kejadian yang tidak bisa mereka mengerti; seperti tidak bisa
dikuncinya pintu penjara, sehingga mereka harus berjaga penuh supaya
para tahanan tidak melarikan diri.
Di hari-hari selanjutnya, ribuan orang
datang ingin menjenguk dan memberi makanan kepada Mbah Kholil, bahkan
banyak yang meminta ikut ditahan bersamanya. Kejadian tersebut
menjadikan pihak Belanda dan sekutunya merelakan Mbah Kholil untuk
dibebaskan saja.
Mbah Kholil adalah seorang ulama yang
benar-benar bertanggung jawab terhadap pertahanan, kekukuhan dan
maju-mundurnya agama Islam dan bangsanya. Beliau sadar benar bahwa pada
zamannya, bangsanya adalah dalam suasana terjajah oleh bangsa asing yang
tidak seagama dengan yang dianutnya.
Beliau dan keseluruhan suku bangsa Madura
seratus persen memeluk agama Islam, sedangkan bangsa Belanda, bangsa
yang menjajah itu memeluk agama Kristiani. Sesuai dengan keadaan beliau
sewaktu pulang dari Mekkah yang telah berumur lanjut, tentunya Mbah
Kholil tidak melibatkan diri dalam medan perang, memberontak dengan
senjata tetapi mengkaderkan pemuda di pondok pesantren yang
diasaskannya.
Mbah Kholil sendiri pernah ditahan oleh
penjajah Belanda karena dituduh melindungi beberapa orang yang terlibat
melawan Belanda di pondok pesantrennya. Beberapa tokoh ulama maupun
tokoh-tokoh kebangsaan lainnya yang terlibat memperjuangkan kemerdekaan
Indonesia tidak sedikit yang pernah mendapat pendidikan dari Mbah
Kholil.
Diantara sekian banyak murid Mbah Kholil
yang cukup menonjol dalam sejarah perkembangan agama Islam dan bangsa
Indonesia ialah KH. Hasyim Asy’ari (pendiri Pondok Pesantren Tebuireng,
Jombang, dan pengasas Nahdlatul Ulama/NU), KH. Abdul Wahab Chasbullah
(pendiri Pondok Pesantren Tambak Beras, Jombang), KH. Bisri Syansuri
(pendiri Pondok Pesantren Denanyar, Jombang), KH. Ma’shum (pendiri
Pondok Pesantren Lasem, Rembang, adalah ayahanda KH. Ali Ma’shum), KH.
Bisri Mustofa (pendiri Pondok Pesantren Rembang), dan KH. As’ad Syamsul
`Arifin (pengasuh Pondok Pesantren Asembagus, Situbondo).
Karomah Mbah Kholil
Ulama besar yang digelar oleh para Kyai
sebagai “Syaikhuna” yakni guru kami, karena kebanyakan Kyai-Kyai dan
pengasas pondok pesantren di Jawa dan Madura pernah belajar dan nyantri
dengan beliau. Pribadi yang dimaksudkan ialah Mbah Kholil. Tentunya dari
sosok seorang Ulama Besar seperti Mbah Kholil mempunyai karomah.
Istilah karomah berasal dari bahasa Arab.
Secara bahasa berarti mulia, Syeikh Thahir bin Shaleh Al-Jazairi dalam
kitab Jawahirul Kalamiyah mengartikan kata karomah adalah perkara luar
biasa yang tampak pada seorang wali yang tidak disertai dengan pengakuan
seorang Nabi.
Adapun karomah Mbah Kholil diantaranya:
1. Membelah Diri
Kesaktian lain dari Mbah Kholil, adalah
kemampuannya membelah diri. Dia bisa berada di beberapa tempat dalam
waktu bersamaan. Pernah ada peristiwa aneh saat beliau mengajar di
pesantren. Saat berceramah, Mbah Kholil melakukan sesuatu yang tak
terpantau mata. ”Tiba-tiba baju dan sarung beliau basah kuyup,” Cerita
KH. Ghozi.
Para santri heran. Sedangkan beliau sendiri cuek, tak mau menceritakan apa-apa. Langsung ngeloyor masuk rumah, ganti baju.
Teka-teki itu baru terjawab setengah
bulan kemudian. Ada seorang nelayan sowan ke Mbah Kholil. Dia
mengucapkan terimakasih, karena saat perahunya pecah di tengah laut,
langsung ditolong Mbah Kholil.
”Kedatangan nelayan itu membuka tabir.
Ternyata saat memberi pengajian, Mbah Kholil dapat pesan agar segera ke
pantai untuk menyelamatkan nelayan yang perahunya pecah. Dengan karomah
yang dimiliki, dalam sekejap beliau bisa sampai laut dan membantu si
nelayan itu,” Papar KH. Ghozi yang kini tinggal di Wedomartani Ngemplak
Sleman ini.
2. Menyembuhkan Orang Lumpuh Seketika
Dalam buku yang berjudul “Tindak Lampah
Romo Yai Syeikh Ahmad Jauhari Umar” menerangkan bahwa Mbah Kholil
Bangkalan termasuk salah satu guru Romo Yai Syeikh Ahmad Jauhari Umar
yang mempunyai karomah luar biasa. Diceritakan oleh penulis buku
tersebut sebagai berikut:
“Suatu hari, ada seorang keturunan Cina
sakit lumpuh, padahal ia sudah dibawa ke Jakarta tepatnya di Betawi,
namun belum juga sembuh. Lalu ia mendengar bahwa di Madura ada orang
sakti yang bisa menyembuhkan penyakit. Kemudian pergilah ia ke Madura
yakni ke Mbah Kholil untuk berobat. Ia dibawa dengan menggunakan tandu
oleh 4 orang, tak ketinggalan pula anak dan istrinya ikut mengantar.
Di tengah perjalanan ia bertemu dengan
orang Madura yang dibopong karena sakit (kakinya kerobohan pohon). Lalu
mereka sepakat pergi bersama-sama berobat ke Mbah Kholil. Orang Madura
berjalan di depan sebagai penunjuk jalan. Kira-kira jarak kurang dari 20
meter dari rumah Mbah Kholil, muncullah Mbah Kholil dalam rumahnya
dengan membawa pedang seraya berkata: “Mana orang itu?!! Biar saya bacok
sekalian.”
Melihat hal tersebut, kedua orang sakit
tersebut ketakutan dan langsung lari tanpa ia sadari sedang sakit.
Karena Mbah Kholil terus mencari dan membentak-bentak mereka, akhirnya
tanpa disadari, mereka sembuh. Setelah Mbah Kholil wafat kedua orang
tersebut sering ziarah ke makam beliau.
3. Kisah Pencuri Timun Tidak Bisa Duduk
Pada suatu hari petani timun di daerah
Bangkalan sering mengeluh. Setiap timun yang siap dipanen selalu
kedahuluan dicuri maling. Begitu peristiwa itu terus-menerus, akhirnya
petani timun itu tidak sabar lagi. Setelah bermusyawarah, maka
diputuskan untuk sowan ke Mbah Kholil. Sesampainya di rumah Mbah Kholil,
sebagaimana biasanya Kyai tersebut sedang mengajarkan kitab Nahwu.
Kitab tersebut bernama Jurumiyah, suatu kitab tata bahasa Arab tingkat
pemula.
“Assalamu’alaikum, Kyai,” Ucap salam para petani serentak.
“Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh,“ Jawab Mbah Kholil.
Melihat banyaknya petani yang datang. Mbah Kholil bertanya: “Sampean ada keperluan, ya?”
“Benar, Kyai. Akhir-akhir ini ladang
timun kami selalu dicuri maling, kami mohon kepada Kyai penangkalnya,”
Kata petani dengan nada memohon penuh harap.
Ketika itu, kitab yang dikaji oleh Kyai
kebetulan sampai pada kalimat “qoma zaidun” yang artinya “zaid telah
berdiri”. Lalu serta-merta Mbah Kholil berbicara sambil menunjuk kepada
huruf “qoma zaidun”.
“Ya.., Karena pengajian ini sampai ‘qoma
zaidun’, ya ‘qoma zaidun’ ini saja pakai sebagai penangkal,” Seru Kyai
dengan tegas dan mantap.
“Sudah, Pak Kyai?” Ujar para petani dengan nada ragu dan tanda tanya.
“Ya sudah,” Jawab Mbah Kholil menandaskan.
Mereka puas mendapatkan penangkal dari
Mbah Kholil. Para petani pulang ke rumah mereka masing-masing dengan
keyakinan kemujaraban penangkal dari Mbah Kholil.
Keesokan harinya, seperti biasanya petani
ladang timun pergi ke sawah masing-masing. Betapa terkejutnya mereka
melihat pemandangan di hadapannya. Sejumlah pencuri timun berdiri
terus-menerus tidak bisa duduk. Maka tak ayal lagi, semua maling timun
yang selama ini merajalela diketahui dan dapat ditangkap. Akhirnya
penduduk berdatangan ingin melihat maling yang tidak bisa duduk itu,
semua upaya telah dilakukan, namun hasilnya sia-sia. Semua maling tetap
berdiri dengan muka pucat pasi karena ditonton orang yang semakin lama
semakin banyak.
Satu-satunya jalan agar para maling itu
bisa duduk, maka diputuskan wakil petani untuk sowan ke Mbah Kholil
lagi. Tiba di kediaman Mbah Kholil, utusan itu diberi obat penangkal.
Begitu obat disentuhkan ke badan maling yang sial itu, akhirnya dapat
duduk seperti sedia kala. Dan para pencuri itupun menyesal dan berjanji
tidak akan mencuri lagi di ladang yang selama ini menjadi sasaran empuk
pencurian.
Maka sejak saat itu, petani timun di
daerah Bangkalan menjadi aman dan makmur. Sebagai rasa terima kasih
kepada Mbah Kholil, mereka menyerahkan hasil panenannya yaitu timun ke
pondok pesantren berdokar-dokar. Sejak itu, berhari-hari para santri di
pondok kebanjiran timun, dan hampir-hampir di seluruh pojok-pojok pondok
pesantren dipenuhi dengan timun.
4. Kisah Ketinggalan Kapal Laut
Kejadian ini pada musim haji. Kapal laut
pada waktu itu, satu-satunya angkutan menuju Mekkah. Semua penumpang
calon haji naik ke kapal dan bersiap-siap, tiba-tiba seorang wanita
berbicara kepada suaminya: “Pak, tolong saya belikan anggur, saya ingin
sekali,” Ucap istrinya dengan memelas.
“Baik, kalau begitu. Mumpung kapal belum
berangkat, saya akan turun mencari anggur,” Jawab suaminya sambil
bergegas ke luar kapal.
Suaminya mencari anggur di sekitar
ajungan kapal, nampaknya tidak ditemui penjual buah anggur seorangpun.
Akhirnya dicobanya masuk ke pasar untuk memenuhi keinginan istrinya
tercinta. Dan meski agak lama, toh akhirnya anggur itu didapat juga.
Betapa gembiranya sang suami mendapatkan buah anggur itu. Dengan agak
bergegas, dia segera kembali ke kapal untuk menemui isterinya. Namun
betapa terkejutnya setelah sampai ke ajungan, kapal yang akan ditumpangi
semakin lama semakin menjauh. Sedih sekali melihat kenyataan ini. Ia
duduk termenung tidak tahu apa yang mesti diperbuat.
Di saat duduk memikirkan nasibnya,
tiba-tiba ada seorang laki-laki datang menghampirinya. Dia memberikan
nasihat: “Datanglah kamu kepada Mbah Kholil Bangkalan, utarakan apa
musibah yang menimpa dirimu!” Ucapnya dengan tenang.
“Mbah Kholil?” Pikirnya. “Siapa dia,
kenapa harus ke sana, bisakah dia menolong ketinggalan saya dari kapal?”
Begitu pertanyaan itu berputar-putar di benaknya.
“Segeralah ke Mbah Kholil minta tolong
padanya agar membantu kesulitan yang kamu alami, insya Allah,” Lanjut
orang itu menutup pembicaraan.
Tanpa pikir panjang lagi, berangkatlah
sang suami yang malang itu ke Bangkalan. Setibanya di kediaman Mbah
Kholil, langsung disambut dan ditanya: “Ada keperluan apa?”
Lalu suami yang malang itu menceritakan
apa yang dialaminya mulai awal hingga datang ke Mbah Kholil. Tiba-tiba
Kyai itu berkata: “Lho, ini bukan urusan saya, ini urusan pegawai
pelabuhan. Sana pergi!”
Lalu suami itu kembali dengan tangan
hampa. Sesampainya di pelabuhan sang suami bertemu lagi dengan orang
laki-laki tadi yang menyuruh ke Mbah Kholil, lalu bertanya: ”Bagaimana,
sudah bertemu Mbah Kholil?”
“Sudah, tapi saya disuruh ke petugas pelabuhan,” Katanya dengan nada putus asa.
“Kembali lagi, temui Mbah Kholil!” Ucap orang yang menasehati dengan tegas tanpa ragu.
Maka sang suami yang malang itupun
kembali lagi ke Mbah Kholil. Begitu dilakukannya sampai berulang kali.
Baru setelah ketiga kalinya, Mbah Kholil berucap: “Baik kalau begitu,
karena sampeyan ingin sekali, saya bantu sampeyan.”
“Terima kasih Kyai,” Kata sang suami melihat secercah harapan.
“Tapi ada syaratnya,” Ucap Mbah Kholil.
“Saya akan penuhi semua syaratnya,” Jawab orang itu dengan sungguh-sungguh.
Lalu Mbah Kholil berpesan: “Setelah ini,
kejadian apapun yang dialami sampeyan jangan sampai diceritakan kepada
orang lain, kecuali saya sudah meninggal. Apakah sampeyan sanggup?”
Seraya menatap tajam.
“Sanggup Kyai,“ Jawabnya spontan.
“Kalau begitu ambil dan pegang anggurmu pejamkan matamu rapat-rapat,” Kata Mbah Kholil.
Lalu sang suami melaksanakan perintah
Mbah Kholil dengan patuh. Setelah beberapa menit berlalu dibuka matanya
pelan-pelan. Betapa terkejutnya dirinya sudah berada di atas kapal tadi
yang sedang berjalan. Takjub heran bercampur jadi satu, seakan tak
mempercayai apa yang dilihatnya. Digosok-gosok matanya, dicubit
lengannya. Benar kenyataan, bukannya mimpi, dirinya sedang berada di
atas kapal. Segera ia temui istrinya di salah satu ruang kapal.
“Ini anggurnya, dik. Saya beli anggur
jauh sekali,” Dengan senyum penuh arti seakan tidak pernah terjadi
apa-apa dan seolah-olah datang dari arah bawah kapal.
Padahal sebenarnya dia baru saja
mengalami peristiwa yang dahsyat sekali yang baru kali ini dialami
selama hidupnya. Terbayang wajah Mbah Kholil. Dia baru menyadarinya
bahwa beberapa saat yang lalu, sebenarnya dia baru saja berhadapan
dengan seseorang yang memiliki karomah yang sangat luar biasa.
5. Belajar Secara Gaib
Mbah Kholil adalah guru utama yang
mencetak banyak ulama besar di Jawa Timur. Sampai sekarang, meski sudah
meninggal, banyak ulama yang mengaku belajar secara gaib dengan Mbah
Kholil. Banyak cara dilakukan untuk belajar kitab secara gaib dari ulama
tersohor ini. Salah satunya dengan berziarah serta bermalam di makam
beliau.
Seperti pernah dikisahkan KH. Anwar
Siradj, pengasuh PP Nurul Dholam Bangil Pasuruan. Saat mempelajari kitab
Alfiyah, beliau mengalami kesulitan. Padahal, kitab yang berupa
gramatika Bahasa Arab tersebut, merupakan kunci untuk mendalami
kitab-kitab lain.
KH. Anwar Siradj sudah mencoba berguru
kepada Kyai-Kyai besar di hampir semua penjuru Jawa Timur. Tapi hasilnya
nihil. Suatu ketika, seperti dikisahkan Ustadz Muhammad Salim (santri
Nurul Dholam), KH. Anwar Siradj dapat petunjuk, agar mempelajari kitab
Alfiyah di makam Mbah Kholil.
Petunjuk gaib itu pun dilaksanakan.
Selama sebulan penuh KH. Anwar Siradj ziarah di makam Mbah Kholil
Bangkalan. Di makam itu dia mempelajari kitab Alfiyah. ”Akhirnya Kiai
Anwar bisa menghafal Alfiyah,” Jelas Ustadz Salim.
Banyak ulama generasi sekarang yang meski
tidak pernah ketemu fisik dan bahkan lahirnya jauh sesudah Mbah Kholil
meninggal, mengakui kalau perintis dakwah di Pulau Madura ini adalah
guru mereka. Bukan guru secara fisik, melainkan pembimbing secara batin.
6. Berguru dalam Mimpi
Pada waktu Mbah Kholil masih muda, ada
seorang Kyai yang terkenal di daerah Wilungan, Pasuruan bernama Abu
Darrin. Kealimannya tidak hanya terbatas di lingkungan Pasuruan, tetapi
sudah menyebar ke berbagai daerah lain, termasuk Madura.
Mbah Kholil muda yang mendengar ada ulama
yang mumpuni itu, terbetik di hatinya ingin menimba ilmunya. Setelah
segala perbekalan dipersiapkan, maka berangkatlah Mbah Kholil muda ke
pesantren Abu Darrin dengan harapan dapat segera bertemu dengan ulama
yang dikagumi itu. Tetapi alangkah sedihnya ketika dia sampai di
Pesantren Wilungan, ternyata Kyai Abu Darrin telah meninggal dunia
beberapa hari sebelumnya. Hatinya dirundung duka dengan kepergian Kyai
Abu Darrin. Namun karena tekad belajarnya sangat menggelora maka Mbah
Kholil muda segera sowan ke makam Kyai Abu Darrin.
Setibanya di makam Abu Darrin, Mbah
Kholil muda lalu mengucapkan salam lalu berkata: “Bagaimana saya ini
Kyai, saya masih ingin berguru pada Kyai, tetapi Kyai sudah meninggal,”
desah Mbah Kholil muda sambil menangis.
Mbah Kholil muda lalu mengambil sebuah
mushaf Al-Quran. Kemudian bertawassul dengan membaca Al-Quran
terus-menerus sampai 41 hari lamanya. Pada hari ke-41 tiba-tiba
datanglah Kyai Abu Darrin dalam mimpinya. Dalam mimpi itu, Kyai Abu
Darrin mengajarkan beberapa ilmunya kepada Mbah Kholil muda. Setelah dia
bangun dari tidurnya, lalu Mbah Kholil muda serta-merta dapat menghafal
kitab Imriti, Kitab Asmuni dan Alfiyah.
7. Didatangi Macan
Suatu hari di bulan Syawal. Mbah Kholil
tiba-tiba memanggil santrinya. “Anak-anakku, sejak hari ini kalian harus
memperketat penjagaan pondok pesantren. Pintu gerbang harus senantiasa
dijaga, sebentar lagi akan ada macan masuk ke pondok kita ini,” Kata
Mbah Kholil agak serius.
Mendengar tutur guru yang sangat
dihormati itu, segera para santri mempersiapkan diri. Waktu itu sebelah
timur Bangkalan memang terdapat hutan-hutan yang cukup lebat dan angker.
Hari demi hari, penjagaan semakin diperketat, tetapi macan yang
ditunggu-tunggu itu belum tampak juga. Memasuki minggu ketiga, datanglah
ke pesantren seorang pemuda kurus, tidak berapa tinggi, berkulit kuning
langsat sambil menenteng kopor seng.
Sesampainya di depan pintu rumah Mbah
Kholil, lalu mengucap salam. Mendengar salam itu, bukan jawaban salam
yang diterima, tetapi Kyai malah berteriak memanggil santrinya: “Hei
santri semua, ada macan….macan.., ayo kita kepung. Jangan sampai masuk
ke pondok,” Seru Mbah Kholil bak seorang komandan di medan perang.
Mendengar teriakan Kyai kontan saja semua
santri berhamburan, datang sambil membawa apa yang ada, pedang, clurit,
tongkat, pacul untuk mengepung pemuda yang baru datang tadi yang mulai
nampak kelihatan pucat. Tidak ada pilihan lagi kecuali lari seribu
langkah.
Namun karena tekad ingin nyantri ke Mbah
Kholil begitu menggelora, maka keesokan harinya mencoba untuk datang
lagi. Begitu memasuki pintu gerbang pesantren, langsung disongsong
dengan usiran ramai-ramai. Demikian juga keesokan harinya. Baru pada
malam ketiga, pemuda yang pantang mundur ini memasuki pesantren secara
diam-diam pada malam hari. Karena lelahnya pemuda itu, yang disertai
rasa takut yang mencekam, akhirnya tertidur di bawah kentongan surau.
Secara tidak diduga, tengah malam Mbah
Kholil datang dan membantu membangunkannya. Karuan saja dimarahi
habis-habisan. Pemuda itu dibawa ke rumah Mbah Kholil. Setelah
berbasa-basi dengan seribu alasan. Baru pemuda itu merasa lega setelah
resmi diterima sebagai santri Mbah Kholil. Pemuda itu bernama Abdul
Wahab Chasbullah. Kelak kemudian hari santri yang diisyaratkan macan
itu, dikenal dengan nama KH. Wahab Chasbullah, seorang Kyai yang sangat
alim, jagoan berdebat, pembentuk komite Hijaz, pembaharu pemikiran.
Kehadiran KH. Wahab Chasbullah di mana-mana selalu berwibawa dan sangat
disegani baik kawan maupun lawan bagaikan seekor macan, seperti yang
diisyaratkan Mbah Kholil.
8. Santri Mimpi dengan Wanita
Pada suatu hari menjelang pagi, santri
bernama Bahar dari Sidogiri merasa gundah, dalam benaknya tentu pagi itu
tidak bisa shalat Shubuh berjamaah. Ketidakikutsertaan Bahar shalat
Shubuh berjamaah bukan karena malas, tetapi disebabkan halangan junub.
Semalam Bahar bermimpi tidur dengan seorang wanita. Sangat dipahami
kegundahan Bahar. Sebab wanita itu adalah istri Mbah Kholil, gurunya.
Menjelang subuh, terdengar Mbah Kholil
marah besar sambil membawa sebilah pedang seraya berucap: “Santri kurang
ajar.., santri kurang ajar….!”
Para santri yang sudah naik ke masjid
untuk sholat berjamaah merasa heran dan tanda tanya, apa dan siapa yang
dimaksud santri kurang ajar itu.
Shubuh itu Bahar memang tidak ikut shalat
berjamaah, tetapi bersembunyi di belakang pintu masjid. Seusai shalat
Shubuh berjamaah, Mbah Kholil menghadapkan wajahnya kepada semua santri
seraya bertanya: “Siapa santri yang tidak ikut berjamaah?” Ucap Mbah
Kholil dengan nada menyelidik.
Semua santri merasa terkejut, tidak
menduga akan mendapat pertanyaan seperti itu. Para santri menoleh ke
kanan-kiri, mencari tahu siapa yang tidak hadir. Ternyata yang tidak
hadir waktu itu hanyalah Bahar. Kemudian Mbah Kholil memerintahkan
mencari Bahar dan dihadapkan kepadanya. Setelah diketemukan lalu dibawa
ke masjid.
Mbah Kholil menatap tajam-tajam kepada
Bahar seraya berkata: “Bahar, karena kamu tidak hadir shalat Shubuh
berjamaah maka harus dihukum. Tebanglah dua rumpun bambu di belakang
pesantren dengan petok ini,” Perintah Mbah Kholil.
Petok adalah sejenis pisau kecil, dipakai
menyabit rumput. Setelah menerima perintah itu, segera Bahar
melaksanakan dengan tulus. Dapat diduga bagaimana Bahar menebang dua
rumpun bambu dengan suatu alat yang sangat sederhana sekali, tentu
sangat kesulitan dan memerlukan tenaga serta waktu yang lama sekali.
Hukuman ini akhirnya diselesaikan dengan baik.
“Alhamdulillah, sudah selesai Kyai,” Ucap Bahar dengan sopan dan rendah hati.
“Kalau begitu, sekarang kamu makan nasi yang ada di nampan itu sampai habis!” Perintah Kyai kepada Bahar.
Sekali lagi santri Bahar dengan patuh
menerima hukuman dari Mbah Kholil. Setelah Bahar melaksanakan hukuman
yang kedua, santri Bahar lalu disuruh makan buah-buahan sampai habis
yang ada di nampan yang telah tersedia. Mendengar perintah ini santri
Bahar melahap semua buah-buahan yang ada di nampan itu. Setelah itu
santri Bahar diusir oleh Mbah Kholil seraya berucap: “Hai santri, semua
ilmuku sudah dicuri oleh orang ini,” Ucap Mbah Kholil sambil menunjuk ke
arah Bahar.
Dengan perasaan senang dan mantap santri
Bahar pulang meninggalkan pesantren Mbah Kholil menuju kampung
halamannya. Memang benar, tak lama setelah itu, santri yang mendapat
isyarat mencuri ilmu Mbah Kholil itu, menjadi Kyai yang sangat alim,
yang memimpin sebuah pondok pesantren besar di Jawa Timur. Kyai
beruntung itu bernama Kyai Bahar, seorang Kyai besar dengan ribuan
santri yang diasuhnya di Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan, Jawa
Timur.
9. Orang Arab dan Macan Tutul
Suatu hari menjelang shalat Maghrib,
seperti biasanya Mbah Kholil mengimami jamaah shalat bersama para santri
Kedemangan. Bersamaan dengan Mbah Kholil mengimami shalat, tiba-tiba
kedatangan tamu berbangsa Arab. Orang Madura menyebutnya Habib. Seusai
melaksanakan shalat, Mbah Kholil menemui tamunya, termasuk orang Arab
yang baru datang itu.
Sebagai orang Arab yang mengetahui
kefasihan Bahasa Arab, Habib menghampiri Mbah Kholil seraya berucap:
“Kyai, bacaan Al-Fatihah Antum (Anda) kurang fasih,” Tegur Habib.
Setelah berbasa-basi beberapa saat, Habib
dipersilahkan mengambil wudhu untuk melaksanakan shalat Maghrib. Tempat
wudhu ada di sebelah masjid itu. “Silakan ambil wudhu di sana,” Ucap
Mbah Kholil sambil menunjukkan arah tempat wudhu.
Baru saja selesai wudhu, tiba-tiba sang
Habib dikejutkan dengan munculnya macan tutul. Habib terkejut dan
berteriak dengan bahasa Arabnya yang fasih, untuk mengusir macan tutul
yang makin mendekat itu. Meskipun Habib mengucapkan bahasa Arab sangat
fasih untuk mengusir macan tutul, namun macan itu tidak pergi juga.
Mendengar ribut-ribut di sekitar tempat
wudhu Mbah Kholil datang menghampiri. Melihat ada macan yang tampaknya
penyebab keributan itu, Mbah Kholil mengucapkan sepatah dua patah kata
yang kurang fasih. Anehnya, sang macan yang mendengar kalimat yang
dilontarkan Mbah Kholil yang nampaknya kurang fasih itu, macan tutul
bergegas menjauh. Dengan kejadian ini, sang Habib paham bahwa sebetulnya
Mbah Kholil bermaksud memberi pelajaran kepada dirinya, bahwa suatu
ungkapan bukan terletak antara fasih dan tidak fasih, melainkan sejauh
mana penghayatan makna dalam ungkapan itu.
10. Jawaban Mbah Kholil kepada Tamunya
Suatu Ketika Habib Jindan bin Salim
berselisih pendapat dengan seorang ulama, manakah pendapat yang paling
sahih dalam ayat ‘Maaliki yaumiddin’, Maliki-nya dibaca ‘Maaliki’
(dengan memakai alif setelah mim), ataukah ‘Maliki’ (tanpa alif).
Setelah berdebat tidak ada titik temu. Akhirnya sepakat untuk sama-sama
datang ke Kyai Keramat, Mbah Kholil Bangkalan.
Ketika itu Kyai yang jadi maha guru para
Kyai pulau Jawa itu sedang duduk di dalam mushala. Saat rombongan Habib
Jindan sudah dekat ke Mushala sontak saja Mbah Kholil berteriak:
“Maaliki yaumiddin ya Habib, Maaliki yaumiddin Habib,” Teriak Kyai
Kholil Bangkalan menyambut kedatangan Habib Jindan.
Tentu saja dengan ucapan selamat datang
yang aneh itu, sang Habib tak perlu bersusah payah menceritakan soal
sengketa Maliki Yaumiddin ataukah Maaliki Yaumiddin itu. Demikian yang
diceritakan Habib Luthfi bin Yahya ketika menjelaskan perbendaan
pendapat ulama dalam bacaan ayat itu pada Tafsir ath-Thabari.
11. Tongkat Mbah Kholil dan Sumber Mata Air
Suatu hari Mbah Kholil berjalan ke arah
selatan Bangkalan. Beberapa santri menyertainya. Setelah berjalan cukup
jauh, tepatnya sampai di desa Langgundi, tiba-tiba Mbah Kholil
menghentikan perjalanannya. Setelah melihat tanah di hadapannya, dengan
serta-merta Mbah Kholil menancapkan tongkatnya ke tanah.
Dari arah lobang bekas tancapan Mbah
Kholil tadi, memancarlah sumber air yang sangat jernih. Semakin lama
semakin besar. Bahkan karena terus membesar, sumber air tersebut
akhirnya menjadi kolam yang bisa dipakai untuk minum dan mandi. Kolam
yang bersejarah itu sampai sekarang masih ada. Orang Madura menamakannya
Kolla Al-Asror Langgundi. Letaknya sekitar 1 km sebelah Selatan
kompleks pemakaman Mbah Kholil Bangkalan.
Silsilah Nasab Mbah Kholil
Mbah Kholil (KH. Muhammad Kholil
Bangkalan Al-Maduri) adalah titisan beberapa wali yang tergabung dalam
Walisongo, Yaitu Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Gunung Jati dan Sunan
Kudus, yang mana mereka bermarga “Azmatkhan” dan bersambung pada Sayyid
Alawi Ammil Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath. Beliau juga bernasab pada
keluarga Basyaiban yang bersambung pada Al-Imam Muhammad Al-Faqih
Al-Muqaddam bin Ali bin Muhammad Shahib Mirbath Al-Alawi Al-Husaini.
KH. Muhammad Kholil bin KH. Abdul Lathif
bin Kyai Hamim bin Kyai Abdul Karim bin Kyai Muharram bin Kyai Asror
Karomah bin Kyai Abdullah bin Sayyid Sulaiman. Sayid Sulaiman adalah
cucu Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati Cirebon. Syarif
Hidayatullah itu putera Sultan Umdatuddin Umdatullah Abdullah yang
memerintah di Cam (Campa). Ayahnya adalah Sayyid Ali Nurul Alam bin
Sayyid Jamaluddin Al-Kubra.
Berikut ini adalah silsilah nasab Mbah
Kholil. Terlebih dahulu saya tulis silsilah jalur laki-laki yang
bersambung pada Sunan Kudus, untuk menunjukkan hak beliau dalam
menggunakan nama belakang (marga/fam) “Azmatkhan Al-Alawi Al-Husaini”,
sesuai dengan adat dan istilah pernasaban bangsa Arab.
• Jalur Sunan Kudus
1. Mbah Kholil (Syeikh Muhammad Kholil) Bangkalan.
2. Kyai Abdul Lathif. Dimakamkan di Bangkalan.
3. Kyai Hamim. Dimakamkan di Tanjung Porah, Lomaer, Bangkalan.
4. Kyai Abdul Karim.
5. Kyai Muharram. Dimakamkan di Banyo Ajuh, Bangkalan.
6. Kyai Abdul Azhim. Dimakamkan di Tambak Agung, Sukalela, Labeng, Bangkalan.
7. Kyai Sulasi. Dimakamkan di Petapan, Trageh, Bangkalan.
8. Kyai Martalaksana. Dimakamkan di Banyu Buni, Gelis, Bangkalan.
9. Kyai Badrul Budur. Dimakamkan di Rabesan, Dhuwwek Buter, Kuayar, Bangkalan.
10. Kyai Abdur Rahman (Bhujuk Lek-palek). Dimakamkan di Kuanyar, Bangkalan.
11. Kyai Khatib. Ada yang menulisnya “Ratib”. Dimakamkan di Pranggan, Sumenep.
12. Sayyid Ahmad Baidhawi (Pangeran Ketandar Bangkal). Dimakamkan di Sumenep.
13. Sayyid Shaleh (Panembahan Pakaos). Dimakamkan di Ampel Surabaya.
14. Sayyid Ja’far Shadiq (Sunan Kudus). Dimakamkan di Kudus.
15. Sayyid Utsman Haji (Sunan Ngudung). Dimakamkan di Kudus.
16. Sayyid Fadhal Ali Al-Murtadha (Raden Santri /Raja Pandita). Dimakamkan di Gresik.
17. Sayyid Ibrahim (Asmoro). Dimakamkan di Tuban.
18. Sayyid Husain Jamaluddin. Dimakamkan di Bugis.
19. Sayyid Ahmad Syah Jalaluddin. Dimakamkan di Naseradab, India.
20. Sayyid Abdullah. Dimakamkan di Naserabad, India.
21. Sayyid Abdul Malik Azmatkhan. Dimakamkan di Naserabad, India.
22. Sayyid Alawi ‘Ammil Faqih. Dimakamkan di Tarim, Hadramaut, Yaman.
23. Sayyid Muhammad Shahib Mirbath. Dimakamkan di Zhifar, Hadramaut, Yaman.
24. Sayyid Ali Khali’ Qasam. Dimakamkan di Tarim, Hadramaut, Yaman.
25. Sayyid Alawi. Dimakamkan di Bait Jabir, Hadramaut, Yaman.
26. Sayyid Muhammad. Dimakamkan di Bait Jabir, Hadramaut, Yaman.
27. Sayyid Alawi. Dimakamkan di Sahal, Yaman.
28. Sayyid Abdullah/Ubaidillah. Dimakamkan di Hadramaut, Yaman.
29. Al-Imam Ahmad Al-Muhajir . Dimakamkan di Al-Husayyisah, Hadramaut, Yaman.
30. Sayyid Isa An-Naqib. Dimakamkan di Bashrah, Iraq.
31. Sayyid Muhammad An-Naqib. Dimakamkan di Bashrah, Iraq.
32. Al-Imam Ali Al-Uradhi. Dimakamkan di Al-Madinah Al-Munawwarah.
33. Al-Imam Ja’far Ash-Shadiq. Dimakamkan di Al-Madinah Al-Munawwarah.
34. Al-Imam Muhammad Al-Baqir. Dimakamkan di Al-Madinah Al-Munawwarah.
35. Al-Imam Ali Zainal Abidin. Dimakamkan di Al-Madinah Al-Munawwarah.
36. Sayyidina Husain bin Ali bin Abi Thalib. Dimakamkan di Karbala, Iraq.
37. Sayyidatina Fathimah Az-Zahra’ binti Sayyidina Muhammad Rasulullah. Dimakamkan di Madinah Al-Munawwarah
2. Kyai Abdul Lathif. Dimakamkan di Bangkalan.
3. Kyai Hamim. Dimakamkan di Tanjung Porah, Lomaer, Bangkalan.
4. Kyai Abdul Karim.
5. Kyai Muharram. Dimakamkan di Banyo Ajuh, Bangkalan.
6. Kyai Abdul Azhim. Dimakamkan di Tambak Agung, Sukalela, Labeng, Bangkalan.
7. Kyai Sulasi. Dimakamkan di Petapan, Trageh, Bangkalan.
8. Kyai Martalaksana. Dimakamkan di Banyu Buni, Gelis, Bangkalan.
9. Kyai Badrul Budur. Dimakamkan di Rabesan, Dhuwwek Buter, Kuayar, Bangkalan.
10. Kyai Abdur Rahman (Bhujuk Lek-palek). Dimakamkan di Kuanyar, Bangkalan.
11. Kyai Khatib. Ada yang menulisnya “Ratib”. Dimakamkan di Pranggan, Sumenep.
12. Sayyid Ahmad Baidhawi (Pangeran Ketandar Bangkal). Dimakamkan di Sumenep.
13. Sayyid Shaleh (Panembahan Pakaos). Dimakamkan di Ampel Surabaya.
14. Sayyid Ja’far Shadiq (Sunan Kudus). Dimakamkan di Kudus.
15. Sayyid Utsman Haji (Sunan Ngudung). Dimakamkan di Kudus.
16. Sayyid Fadhal Ali Al-Murtadha (Raden Santri /Raja Pandita). Dimakamkan di Gresik.
17. Sayyid Ibrahim (Asmoro). Dimakamkan di Tuban.
18. Sayyid Husain Jamaluddin. Dimakamkan di Bugis.
19. Sayyid Ahmad Syah Jalaluddin. Dimakamkan di Naseradab, India.
20. Sayyid Abdullah. Dimakamkan di Naserabad, India.
21. Sayyid Abdul Malik Azmatkhan. Dimakamkan di Naserabad, India.
22. Sayyid Alawi ‘Ammil Faqih. Dimakamkan di Tarim, Hadramaut, Yaman.
23. Sayyid Muhammad Shahib Mirbath. Dimakamkan di Zhifar, Hadramaut, Yaman.
24. Sayyid Ali Khali’ Qasam. Dimakamkan di Tarim, Hadramaut, Yaman.
25. Sayyid Alawi. Dimakamkan di Bait Jabir, Hadramaut, Yaman.
26. Sayyid Muhammad. Dimakamkan di Bait Jabir, Hadramaut, Yaman.
27. Sayyid Alawi. Dimakamkan di Sahal, Yaman.
28. Sayyid Abdullah/Ubaidillah. Dimakamkan di Hadramaut, Yaman.
29. Al-Imam Ahmad Al-Muhajir . Dimakamkan di Al-Husayyisah, Hadramaut, Yaman.
30. Sayyid Isa An-Naqib. Dimakamkan di Bashrah, Iraq.
31. Sayyid Muhammad An-Naqib. Dimakamkan di Bashrah, Iraq.
32. Al-Imam Ali Al-Uradhi. Dimakamkan di Al-Madinah Al-Munawwarah.
33. Al-Imam Ja’far Ash-Shadiq. Dimakamkan di Al-Madinah Al-Munawwarah.
34. Al-Imam Muhammad Al-Baqir. Dimakamkan di Al-Madinah Al-Munawwarah.
35. Al-Imam Ali Zainal Abidin. Dimakamkan di Al-Madinah Al-Munawwarah.
36. Sayyidina Husain bin Ali bin Abi Thalib. Dimakamkan di Karbala, Iraq.
37. Sayyidatina Fathimah Az-Zahra’ binti Sayyidina Muhammad Rasulullah. Dimakamkan di Madinah Al-Munawwarah
Maka, dari jalur Sunan Kudus, Mbah Kholil adalah generasi ke-37 dari Rasulullah Saw.
• Jalur Sunan Ampel
1. Mbah Kholil (Syeikh Muhammad Kholil) Bangkalan.
2. Kyai Abdul Lathif. Dimakamkan di Bangkalan.
3. Kyai Hamim. Dimakamkan di Tanjung Porah, Lomaer, Bangkalan.
4. Kyai Abdul Karim.
5. Kyai Muharram. Dimakamkan di Banyo Ajuh, Bangkalan.
6. Kyai Abdul Azhim. Dimakamkan di Tambak Agung, Sukalela, Labeng, Bangkalan.
7. Nyai Tepi Sulasi (Istri Kyai Sulasi). Dimakamkan di Petapan, Trageh, Bangkalan.
8. Nyai Komala. Dimakamkan di Kuanyar, Bangkalan.
9. Sayyid Zainal Abidin (Sunan Cendana). Dimakamkan di Kuanyar, Bangkalan.
10. Sayyid Muhammad Khathib (Raden Bandardayo). Dimakamkan di Sedayu Gresik.
11. Sayyid Musa (Sunan Pakuan). Dimakamkan di Dekat Gunung Muria Kudus. Dalam sebagian catatan nama Musa ini tidak tertulis.
12. Sayyid Qasim (Sunan Drajat). Dimakamkan di Drajat, Paciran Lamongan.
13. Sayyid Ahmad Rahmatullah (Sunan Ampel). Dimakamkan di Ampel, Surabaya.
14. Sayyid Ibrahim Asmoro Tuban. Disini nasab Nyai Sulasi dan Kyai Sulasi bertemu.
2. Kyai Abdul Lathif. Dimakamkan di Bangkalan.
3. Kyai Hamim. Dimakamkan di Tanjung Porah, Lomaer, Bangkalan.
4. Kyai Abdul Karim.
5. Kyai Muharram. Dimakamkan di Banyo Ajuh, Bangkalan.
6. Kyai Abdul Azhim. Dimakamkan di Tambak Agung, Sukalela, Labeng, Bangkalan.
7. Nyai Tepi Sulasi (Istri Kyai Sulasi). Dimakamkan di Petapan, Trageh, Bangkalan.
8. Nyai Komala. Dimakamkan di Kuanyar, Bangkalan.
9. Sayyid Zainal Abidin (Sunan Cendana). Dimakamkan di Kuanyar, Bangkalan.
10. Sayyid Muhammad Khathib (Raden Bandardayo). Dimakamkan di Sedayu Gresik.
11. Sayyid Musa (Sunan Pakuan). Dimakamkan di Dekat Gunung Muria Kudus. Dalam sebagian catatan nama Musa ini tidak tertulis.
12. Sayyid Qasim (Sunan Drajat). Dimakamkan di Drajat, Paciran Lamongan.
13. Sayyid Ahmad Rahmatullah (Sunan Ampel). Dimakamkan di Ampel, Surabaya.
14. Sayyid Ibrahim Asmoro Tuban. Disini nasab Nyai Sulasi dan Kyai Sulasi bertemu.
Maka, melalui jalur Sunan Ampel, Mbah Kholil adalah generasi ke-34 dari Rasulullah Saw.
• Jalur Sunan Giri
1. Mbah Kholil (Syeikh Muhammad Kholil) Bangkalan.
2. Kyai Abdul Lathif. Dimakamkan di Bangkalan.
3. Kyai Hamim. Dimakamkan di Tanjung Porah, Lomaer, Bangkalan.
4. Kyai Abdul Karim.
5. Kyai Muharram. Dimakamkan di Banyo Ajuh, Bangkalan.
6. Kyai Abdul Azhim. Dimakamkan di Tambak Agung, Sukalela, Labeng, Bangkalan.
7. Nyai Tepi Sulasi (Istri Kyai Sulasi). Dimakamkan di Petapan, Trageh, Bangkalan.
8. Nyai Komala. Dimakamkan di Kuanyar, Bangkalan.
9. Sayyid Zainal Abidin (Sunan Cendana). Dimakamkan di Kuanyar, Bangkalan.
10. Nyai Gede Kedaton (istri Sayyid Muhammad Khathib). Dimakamkan di Giri, Gresik.
11. Panembahan Kulon. Dimakamkan di Giri, Gresik.
12. Sayyid Muhammad Ainul Yaqin (Sunan Giri). Dimakamkan di Giri, Gresik.
13. Maulana Ishaq. Dimakamkan di Pasai.
14. Sayyid Ibrahim Asmoro Tuban. Di sini nasab Nyai Gede Kedaton dan Sayyid Muhammad Khathib bertemu.
2. Kyai Abdul Lathif. Dimakamkan di Bangkalan.
3. Kyai Hamim. Dimakamkan di Tanjung Porah, Lomaer, Bangkalan.
4. Kyai Abdul Karim.
5. Kyai Muharram. Dimakamkan di Banyo Ajuh, Bangkalan.
6. Kyai Abdul Azhim. Dimakamkan di Tambak Agung, Sukalela, Labeng, Bangkalan.
7. Nyai Tepi Sulasi (Istri Kyai Sulasi). Dimakamkan di Petapan, Trageh, Bangkalan.
8. Nyai Komala. Dimakamkan di Kuanyar, Bangkalan.
9. Sayyid Zainal Abidin (Sunan Cendana). Dimakamkan di Kuanyar, Bangkalan.
10. Nyai Gede Kedaton (istri Sayyid Muhammad Khathib). Dimakamkan di Giri, Gresik.
11. Panembahan Kulon. Dimakamkan di Giri, Gresik.
12. Sayyid Muhammad Ainul Yaqin (Sunan Giri). Dimakamkan di Giri, Gresik.
13. Maulana Ishaq. Dimakamkan di Pasai.
14. Sayyid Ibrahim Asmoro Tuban. Di sini nasab Nyai Gede Kedaton dan Sayyid Muhammad Khathib bertemu.
Maka, melalui jalur Sunan Giri, Mbah Kholil adalah generasi ke-34 dari Rasulullah Saw.
• Jalur Sunan Gunung Jati
1. Mbah Kholil (Syeikh Muhammad Kholil) Bangkalan.
2. Kyai Abdul Lathif. Dimakamkan di Bangkalan.
3. Nyai Khadijah (Istri Kyai Hamim). Dimakamkan di Bangkalan.
4. Kyai Asror Karomah.
5. Sayyid Abdullah.
6. Sayyid Ali Al-Akbar.
7. Sayyid Sulaiman. Dimakamkan di Mojo Agung, Jombang.
8. Syarifah Khadijah.
9. Maulana Hasanuddin. Dimakamkan di Banten.
10. Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Dimakamkan di Cirebon.
11. Sayyid Abdullah Umdatuddin.
12. Sayyid Ali Nuruddin/Nurul Alam.
13. Sayyid Husain Jamaluddin Bugis. Di sini nasab Nyai Khadijah dan Kyai Hamim Kholil bertemu.
2. Kyai Abdul Lathif. Dimakamkan di Bangkalan.
3. Nyai Khadijah (Istri Kyai Hamim). Dimakamkan di Bangkalan.
4. Kyai Asror Karomah.
5. Sayyid Abdullah.
6. Sayyid Ali Al-Akbar.
7. Sayyid Sulaiman. Dimakamkan di Mojo Agung, Jombang.
8. Syarifah Khadijah.
9. Maulana Hasanuddin. Dimakamkan di Banten.
10. Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Dimakamkan di Cirebon.
11. Sayyid Abdullah Umdatuddin.
12. Sayyid Ali Nuruddin/Nurul Alam.
13. Sayyid Husain Jamaluddin Bugis. Di sini nasab Nyai Khadijah dan Kyai Hamim Kholil bertemu.
Maka, melalui jalur Sunan Gunung Jati, Mbah Kholil adalah generasi ke-32 dari Rasulullah Saw.
• Jalur Basyaiban
1. Mbah Kholil (Syeikh Muhammad Kholil) Bangkalan.
2. Kyai Abdul Lathif. Dimakamkan di Bangkalan.
3. Nyai Khadijah (Istri Kyai Hamim). Dimakamkan di Bangkalan.
4. Kyai Asror Karomah.
5. Sayyid Abdullah.
6. Sayyid Ali Al-Akbar.
7. Sayyid Sulaiman. Dimakamkan di Mojo Agung, Jombang.
8. Sayyid Abdurrahman (Suami Syarifah Khadijah binti Hasanuddin).
9. Sayyid Umar.
10. Sayyid Muhammad.
11. Sayyid Abdul Wahhab.
12. Sayyid Abu Bakar Basyaiban.
13. Sayyid Muhammad.
14. Sayyid Hasan At-Turabi
15. Sayyid Ali.
16. Al-Imam Muhammad Al-Faqih Al-Muqaddam.
17. Sayyid Ali.
18. Sayyid Muhammad Shahib Mirbat. Di sini nasab keluarga Azmatkhan dan Basyaiban bertemu.
2. Kyai Abdul Lathif. Dimakamkan di Bangkalan.
3. Nyai Khadijah (Istri Kyai Hamim). Dimakamkan di Bangkalan.
4. Kyai Asror Karomah.
5. Sayyid Abdullah.
6. Sayyid Ali Al-Akbar.
7. Sayyid Sulaiman. Dimakamkan di Mojo Agung, Jombang.
8. Sayyid Abdurrahman (Suami Syarifah Khadijah binti Hasanuddin).
9. Sayyid Umar.
10. Sayyid Muhammad.
11. Sayyid Abdul Wahhab.
12. Sayyid Abu Bakar Basyaiban.
13. Sayyid Muhammad.
14. Sayyid Hasan At-Turabi
15. Sayyid Ali.
16. Al-Imam Muhammad Al-Faqih Al-Muqaddam.
17. Sayyid Ali.
18. Sayyid Muhammad Shahib Mirbat. Di sini nasab keluarga Azmatkhan dan Basyaiban bertemu.
Maka, melalui jalur Sayyid Abdurrahman Basyaiban, Mbah Kholil adalah generasi ke-32 dari Rasulullah Saw.
Demikianlah nasab Mbah Kholil dengan
berbagai jalur yang saya dapatkan sampai saat ini, bisa jadi suatu hari
nanti kita menemukan nama-nama baru daripada istri-istri jalur laki-laki
yang ada itu.
Dalam hal pencatatan nasab, ada satu hal
yang cukup membanggakan bagi Kyai-Kyai Jawa dan Madura. Berkat gabungan
antara adat Arab dalam menjaga silsilah dan adat Jawa/Madura yang tidak
membeda-bedakan garis laki-laki dan perempuan, akhirnya Kyai-Kyai
Jawa/Madura banyak yang memiliki silsilah lengkap dari berbagai jalur.
Hal ini pernah ditunjukkan kepada seorang
Syeikh dari Yaman, beliau merasa kagum karena banyak jalur perempuan
yang juga dicatat dalam silsilah itu selain jalur laki-laki, karena pada
umumnya, orang Arab tidak tahu nama-nama kakek-buyutnya yang dari jalur
ibu atau jalur nenek, mereka hanya mengenal yang jalur ayah ke atas
dengan garis laki-laki.
Kiprahnya dalam Pembentukan NU
Peran Mbah Kholil dalam melahirkan NU
pada dasarnya tidak dapat diragukan lagi. Hal ini didukung dari
suksesnya salah satu dari muridnya, KH. Hasyim Asy’ari, menjadi tokoh
dan panutan masyarakat NU. Namun demikian, satu yang perlu digarisbawahi
bahwa Mbah Kholil bukanlah tokoh sentral dari NU, karena tokoh tersebut
tetap pada KH. Hasyim Asy’ari sendiri.
Mengulas kembali ringkasan sejarah
mengenai pembentukan NU, ini berawal pada tahun 1924, saat di Surabaya
terdapat sebuah kelompok diskusi yang bernama Tashwirul Afkar (potret
pemikiran), yang didirikan oleh salah seorang Kyai muda yang cukup
ternama pada waktu itu: KH. Wahab Chasbullah. Kelompok ini lahir dari
kepedulian para ulama terhadap gejolak dan tantangan yang di hadapi umat
Islam kala itu, baik mengenai praktik-praktik keagamaan maupun dalam
bidang pendidikan dan politik.
Pada perkembangannya kemudian, peserta
kelompok diskusi ingin mendirikan Jam’iyah (organisasi) yang ruang
lingkupnya lebih besar daripada hanya sebuah kelompok diskusi. Maka,
dalam berbagai kesempatan, Kyai Wahab selalu menyosialisasikan ide untuk
mendirikan Jam’iyah itu. Dan hal ini tampaknya tidak ada persoalan,
sehingga diterima dengan cukup baik ke semua lapisan. Tak terkecuali
dari KH. Hasyim Asy’ari, Kyai yang paling berpengaruh pada saat itu.
Namun, KH. Hasyim Asy’ari awalnya tidak
serta-merta menerima dan merestui ide tersebut. Terbilang hari dan
bulan, KH. Hasyim Asy’ari melakukan shalat istikharah untuk memohon
petunjuk Allah, namun petunjuk itu tak kunjung datang.
Sementara itu, Mbah Kholil, guru KH.
Hasyim Asy’ari, yang juga guru KH. Wahab Chasbullah, diam-diam mengamati
kondisi itu, dan ternyata ia langsung tanggap, dan meminta seorang
santri yang masih terbilang cucunya sendiri, dipanggil untuk menghadap
kepadanya.
“Saat ini Kyai Hasyim sedang resah,
antarkan dan berikan tongkat ini kepadanya!” Kata Mbah Kholil sambil
menyerahkan sebuah tongkat.
“Baik, Kyai,” Jawab As’ad sambil menerima tongkat itu.
“Bacakanlah kepada Kyai Hasyim ayat-ayat
ini: Wamaa tilka biyamiinika yaa Muusaa, Qaala hiya ‘ashaaya atawakka-u
‘alaihaa wa abusyyu bihaa ‘alaa ghanami waliya fiihaa ma-aaribu ukhraa.
Qaala alqihaa yaa Muusa. Fa-alqahaa faidzaa hiya hayyatun tas’aa. Qaala
Khudzhaa wa laa takhaf sanu’iiduhaa shirathal uulaa wadhumm yadaka ila
janaahika takhruj baidhaa-a min ghairi suu-in aayatan ukhraa linuriyaka
min aayatil kubraa,” Pesan Mbah Kholil.
As’ad segera pergi ke Tebu Ireng, ke
kediaman Kyai Hasyim, dan di situlah berdiri pesantren yang diasuh oleh
Kyai Hasyim. Mendengar ada utusan Mbah Kholil datang, Kyai Hasyim
menduga pasti ada sesuatu, dan ternyata dugaan tersebut benar adanya.
“Kyai, saya diutus Kyai Kholil untuk
mengantarkan dan menyerahkan tongkat ini kepada Kyai,” Kata As’ad,
pemuda berusia sekitar 27 tahun itu, sambil mengeluarkan sebuah tongkat,
dan Kiai Hasyim langsung menerimanya dengan penuh perasaan.
“Ada lagi yang harus kau sampaikan?” Tanya Kyai Hasyim.
“Ada Kyai,” Jawab As’ad. Kemudian ia menyampaikan ayat yang disampaikan Mbah Kholil.
Mendengar ayat yang dibacakan As’ad, hati
Kyai Hasyim tergetar. Matanya menerawang, terbayang wajah Mbah Kholil
yang tua dan bijak. Kyai Hasyim menangkap isyarat, bahwa gurunya tidak
keberatan kalau ia dan teman-temannya mendirikan Jam’iyah. Sejak saat
itu, keinginan untuk mendirikan Jam’iyah semakin dimatangkan.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan,
setahun telah berlalu, namun Jam’iyah yang diidamkan itu tak kunjung
lahir. Sampai pada suatu hari, pemuda As’ad muncul lagi.
“Kyai, saya diutus oleh Kyai Kholil untuk
menyampaikan tasbih ini,” Kata As’ad. “Kyai juga diminta untuk
mengamalkan Yaa Jabbaar, Yaa Qahhaar (lafadz Asma’ul Husna) setiap
waktu,” Tambah As’ad.
Sekali lagi, pesan gurunya diterima
dengan penuh perasaan. Kini hatinya semakin mantap untuk mendirikan
Jam’iyah. Namun, sampai tak lama setelah itu, Mbah Kholil meninggal, dan
keinginan untuk mendirikan Jam’iyah belum juga bisa terwujud.
Baru setahun kemudian, tepatnya 16 Rajab
1344 H, “jabang bayi” yang ditunggu-tunggu itu lahir dan diberi nama
Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU). Dan di kemudian hari, jabang bayi itu pun
menjadi “raksasa”.
Tapi, bagaimana Kyai Hasyim menangkap
isyarat adanya restu dari Mbah Kholil untuk mendirikan NU dari sepotong
tongkat dan tasbih? Tidak lain dan tak bukan karena tongkat dan tasbih
itu diterimanya dari Mbah Kholil, seorang Kyai alim yang diyakini
sebagai salah satu Wali Allah.
J. Tarekat dan Fiqh
Mbah Kholil adalah salah satu Kyai yang
belajar lebih daripada satu madzhab saja. Akan tetapi, di antara
madzhab-madzhab yang ada, ia lebih mendalami madzhab Syafi’i di dalam
ilmu fiqh.
Pada masa kehidupan Mbah Kholil, yaitu
akhir abad-19 dan awal abad-20, di daerah Jawa, khususnya Madura, sedang
terjadi perdebatan antara dua golongan pada saat itu. Pada awal
abad-20, seperti telah diungkapkan sebelumnya, di daerah Jawa sedang
terjadi penyebaran ajaran Tarekat Naqsyabandiyah, Qadiriyah
wa-Naqsyabandiyah, Naqsyabandiyah Muzhariyah dan lain-lain.
Akan tetapi, tidaklah dapat dipungkiri
mengenai keterlibatan Mbah Kholil dalam tarekat, terbukti bahwa Mbah
Kholil dikenal pertama kali dikarenakan kelebihannya dalam hal tarekat,
dan juga memberikan dan mengisi ilmu-ilmu kanuragan kepada para pejuang.
Di sisi lain, Mbah Kholil pun diakui
sebagai salah satu Kyai yang dapat menggabungkan tarekat dan fiqh, yang
kebanyakan ulama pada saat itu melihat dua hal tersebut bertentangan
seperti Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, salah satu ulama yang
notabene seangkatan dengan Mbah Kholil.
Memang, Mbah Kholil hidup pada masa
penyebaran tarekat begitu gencar-gencarnya, sehingga kebanyakan ulama
pada saat itu, mempunyai dan memilki ilmu-ilmu kanuragan, dan tidak
terkecuali Mbah Kholil. Namun demikian, perbedaan antara Mbah Kholil
dengan kebanyakan Kyai yang lainnya, bahwa Mbah Kholil tidak sampai
mengharamkan atau pun menyebutnya sebagai perlakuan syirik dan bid’ah
bagi penganut tarekat. Mbah Kholil justru meletakkan dan menggabungkan
antara keduanya (tarekat dan fiqh).
Dalam penggabungan dua hal ini, Mbah
Kholil mendudukkan tarekat di bawah fiqh, sehingga ajaran-ajaran tarekat
mempunyai batasan-batasan tersendiri yaitu fiqh. Selain itu, ajaran
tarekat juga tidak menjadi ajaran yang tanpa ada batasannya. Namun, yang
cukup disayangkan adalah, tidak banyaknya referensi yang menjelaskan
tentang cara atau pun pola-pola dalam penggabungan tarekat dan fiqh oleh
Mbah Kholil tersebut.
K. Peninggalan
Dalam bidang karya, memang hampir tidak
ada literatur yang menyebutkan tentang karya Mbah Kholil. akan tetapi
Mbah Kholil meninggalkan banyak sejarah dan sesuatu yang tidak tertulis
dalam literatur yang baku. Ada pun peninggalan Mbah Kholil di antaranya:
Pertama: Mbah Kholil turut melakukan
pengembangan pendidikan pesantren sebagai pendidikan alternatif bagi
masyarakat Indonesia. Pada saat penjajahan Belanda, hanya sedikit orang
yang dibolehkan belajar, itu pun hanya dari golongan priyayi saja; di
luar itu, tidaklah dapat belajar di sekolah. Dari sanalah pendidikan
pesantren menjadi jamur di daerah Jawa, dan terhitung sangat banyak
santri Mbah Kholil yang setelah lulus, mendirikan pesantren. Seperti
Kyai Hasyim (Pendiri Pesantren Tebu Ireng), Kyai Wahab Chasbullah
(Pendiri Pesantren Tambak Beras), Kyai Ali Ma’shum (Pendiri Pesantren
Lasem Rembang), dan Kyai Bisri Musthafa (Pendiri Pesantren Rembang).
Dari murid-murid Mbah Kholil, banyak muridnya yang di kemudian hari
mendirikan pesantren, dan begitu seterusnya sehingga pendidikan
pesantren menjadi jamur di Indonesia.
Kedua: Selain Pesantren yang Mbah Kholil
tinggal di Madura –khususnya, ia juga meninggalkan kader-kader Bangsa
dan Islam yang berhasil ia didik, sehingga akhirnya menjadi
pemimpin-pemimpin umat.
Mbah Kholil
(KH. Muhammad Kholil Bangkalan Al-Maduri), adalah satu fenomena
tersendiri. Dia adalah salah seorang tokoh pengembang pesantren di
Nusantara. Sebagian besar pengasuh pesantren, memiliki sanad (sambungan)
dengan para murid Mbah Kholil, yang tentu saja memiliki kesinambungan
dengan Mbah Kholil.
Beliau wafat dalam usia yang lanjut 106
tahun, pada 29 Ramadhan 1341 H/14 Mei 1923 M. Semoga amal ibadah beliau
di terima oleh Allah SWT dan semoga kesalahan-kesalahan beliau juga di
ampuni oleh Allah SWT. Aamiin Yaa Rabbal ‘Aalamiin….
No comments:
Post a Comment